-->

Rabu, 14 Maret 2012

TRANSPLATASI (PENCAKOKAN) MENURUT PERSEPEKTIF HUKUM FIQH

Transplantasi merupakan salah satu temuan teknologi kedokteran modern dengan metode kerja berupa pemindahan jaringan atau organ tubuh dari satu tempat ke tempat lainnya. Hal ini dapat dilakukan pada satu individu atau dua individu.
Pada tahun 40-an telah diadakan pengujian transplantasi organ hewan pada hewan juga kemudian disusul pada tahun 50-an dari hewan ke manusia dan berhasil dan berkembang dari organ manusia kepada organ manusia. Dari keberhasilan uji coba tersebut, timbul satu masalah baru yang perlu dikaji dalam kaitannya dengan hukum Islam. Apakah transplantasi organ tubuh manusia kepada manusia dibolehkan dalam hukum Islam atau tidak ? 

A.   PENGERTIAN TRANSPLANTASI
Transplantasi berasal dari bahasa Inggris to transplant, yang berarti to move from one place to another, bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Adapun pengertian menurut ahli ilmu kedokteran, transplantasi itu ialah : Pemindahan jaringan atau organ dari tempat satu ke tempat lain. Yang dimaksud jaringan di sini ialah : Kumpulan sel-sel (bagian terkecil dari individu) yang sama mempunyai fungsi tertentu.
Yang dimaksud organ ialah : Kumpulan jaringan yang mempunyai fungsi berbeda sehingga merupakan satu kesatuan yang mempunyai fungsi tertentu, seperti jantung, hati dan lain-lain.
Sedangkan transplantasi dalam literatur Arab kontemporer dikenal dengan istilah naql al-a’d{a’ atau juga disebut dengan zar’u al-a’d{a’. Kalau dalam literatur Arab klasik transplantasi disebut dengan istilah al-was}l (penyambungan). Adapun pengertian transplantasi secara terperinci dalam literatur Arab klasik dan kontemporer sama halnya dengan keterangan ilmu kedokteran di atas. Sedang transplantasi di Indonesia lebih dikenal dengan istilah pencangkokan.
Melihat dari pengertian di atas, Djamaluddin Miri membagi transplantasi itu pada dua bagian :
1.    Transplantasi jaringan seperti pencangkokan kornea mata.
2.    Transplantasi organ seperti pencangkokan organ ginjal, jantung dan sebagainya.
Melihat dari hubungan genetik antara donor (pemberi jaringan atau organ yang ditransplantasikan) dari resipien (orang yang menerima pindahan jaringan atau organ), ada tiga macam pencangkokan :
1.    Auto transplantasi, yaitu transplantasi di mana donor resipiennya satu individu. Seperti seorang yang pipinya dioperasi, untuk memulihkan bentuk, diambilkan daging dari bagian badannya yang lain dalam badannya sendiri.
2.    Homo transplantasi, yakni di mana transplantasi itu donor dan resipiennya individu yang sama jenisnya, (jenis di sini bukan jenis kelamin, tetapi jenis manusia dengan manusia).
3.    Hetero transplantasi ialah yang donor dan resipiennya dua individu yang berlainan jenisnya, seperti transplantasi yang donornya adalah hewan sedangkan resipiennya manusia.
Pada homo transplantasi ini bisa terjadi donor dan resipiennya dua individu yang masih hidup, bisa juga terjadi antara donor yang telah meninggal dunia yang disebut cadaver donor, sedang resipien masih hidup.
Pada auto transplantasi hampir selalu tidak pernah mendatangkan reaksi penolakan, sehingga jaringan atau organ yang ditransplantasikan hampir selalu dapat dipertahankan oleh resipien dalam jangka waktu yang cukup lama.
Pada homo transplantasi dikenal tiga kemungkinan :
1.    Apabila resipien dan donor adalah saudara kembar yang berasal dari satu telur, maka transplantasi hampir selalu tidak menyebabkan reaksi penolakan. Pada golongan ini hasil transplantasinya serupa dengan hasil transplantasi pada auto transplantasi.
2.    Apabila resipien dan donor adalah saudara kandung atau salah satunya adalah orang tuanya, maka reaksi penolakan pada golongan ini lebih besar daripada golongan pertama, tetapi masih lebih kecil daripada golongan ketiga.
3.    Apabila resipien dan donor adalah dua orang yang tidak ada hubungan saudara, maka kemungkinan besar transplantasi selalu menyebabkan reaksi penolakan.
Pada waktu sekarang homo transplantasi paling sering dikerjakan dalam klinik, terlebih-lebih dengan menggunakan cadaver donor, karena :
1.    Kebutuhan organ dengan mudah dapat dicukupi, karena donor tidak sulit dicari.
2.    Dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat, terutama dalam bidang immunologi, maka reaksi penolakan dapat ditekan seminimal mungkin.
Pada hetero transplantasi hampir selalu meyebabkan timbulnya reaksi penolakan yang sangat hebat dan sukar sekali diatasi. Maka itu, penggunaanya masih terbatas pada binatang percobaan. Tetapi pernah diberitakan adanya percobaan mentransplantasikan kulit babi yang sudah di iyophilisasi untuk menutup luka bakar yang sangat luas pada manusia.
Sekarang hampir semua organ telah dapat ditransplantasikan, sekalipun sebagian masih dalam taraf menggunakan binatang percobaan, kecuali otak, karena memang tehnisnya amat sulit. Namun demikian pernah diberitakan bahwa di Rusia sudah pernah dilakukan percobaan mentransplantasikan kepala pada binatang dengan hasil baik.

B.   HUKUM TRANSPLANTASI
1.     Hukum Mendonorkan Organ Tubuh Dari Manusia Yang Masih Hidup
a.    Pendapat pertama,
Hukumnya tidak boleh (Haram). Meskipun pendonoran tersebut untuk keperluan medis (pengobatan) bahkan sekalipun telah sampai dalam kondisi darurat. Mendonorkan organ tunggal yang dapat mengakibatkan kematian si pendonor, seperti mendonorkan jantung, hati dan otaknya. Maka hukumnya tidak diperbolehkan,
Dalil pendapat pertama : Firman Allah swt dalam Surat An Nisa’, yang artinya : ”Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu”. (QS. An Nisa’ : 4 : 29)
Allah SWT, juga berfirman dalam Surat Al Baqarah : Artinya : ”Dan Jangan lah kamu jatuhkan dirimu dalam kebinasaan dan berbuat baiklah sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al Baqarah : 2 : 195).
Maksudnya adalah bahwa Allah SWT, melarang manusia untuk membunuh dirinya atau melakukan perbuatan yang membawa kepada kehancuran dan kebinasaan. Sedangkan orang yang mendonorkan salah satu organ tubuhnya secara tidak langsung telah melakukan perbuatan yang membawa kepada kehancuran dan kebinasaan. Padahal manusia tidak disuruh berbuat demikian, manusia hanya disuruh untuk menjaganya (organ tubuhnya) sesuai ayat di atas. Sesungguhnya perbuatan mengambil salah satu organ tubuh manusia dapat membawa kepada kemudlaratan, sedangkan perbuatan yang membawa kepada kemudlaratan merupakan perbuatan yang terlarang. Manusia tidak memiliki hak atas organ tubuhnya seluruhnya, karena pemilik organ tubuh manusia Adalah Allah SWT.
b.    Pendapat kedua,
Hukumnya ja’iz (boleh) namun memiliki syarat-syarat tertentu yaitu: Adanya kerelaan dari si pendonor. Keinginan untuk mendonorkan organ tubuhnya memang muncul dari keinginannya, tanpa ada paksaan. Serta kondisi si pendonor harus sudah baligh dan berakal. Organ yang didonorkan bukanlah organ vital yang menentukan kelangsungan hidup seperti Jantung, hati,paru-paru dan lain-lain. Hal ini dikarenakan penyumbangan organ-organ vital tersebut dapat menyebabkan kematian bagi si pendonor. Sedangkan sesuatu yang membawa kepada kehancuran atau kematian diri sendiri dilarang oleh agama.
Pengobatan dengan transplantasi merupakan jalan terakhir yang memungkinkan untuk mengobati orang yang menderita penyakit tersebut. Kemungkinan untuk keberhasilan proses transplantasi lebih besar, artinya secara kebiasaan proses memotong organ sampai dengan proses meletakkannnya pada si penderita penyakit memiliki kemungkinan keberhasilan yang tinggi. Maka tidak boleh melakukan transplantasi oleh yang belum berpengalaman dan dengan cara eksperimen. Si pendonor tidak boleh menuntut ganti secara finansial kepada si resipien ( yang menerima organ),karena proses pendonoran adalah proses saling tolong-menolong antara manusia, bukan proses jual-beli organ yang hukumnya haram dalam islam.
Dalil pendapat kedua : Setiap insan,meskipun bukan pemilik tubuhnya secara pribadi,namun memiliki kehendak atas apa saja yang bersangkutan dengan tubuhnya,ditambah lagi bahwa Allah telah memberikan kepada manusia hak untuk mengambil manfa’at dari tubuhnya, selama tidak membawa kepada kehancuran, kebinasaan dan kematian dirinya (Qs.An-Nisa’ 29 dan al-Baqarah 95). oleh karena itu, jika pendonoran organ tubuhnya, atau kulitnya, atau darahnya tidak membawa kepada kematian dirinya serta tidak membawa kepada kehancuran dirinya, ditambah lagi pada waktu bersamaan pendonoran organnya dapat menyelamatkan manusia lainnya dari kekhawatiran akan kematian, maka sesungguhnya perbuatan donor organ tubuhnya merupakan perbuatan yang mulia.
Sesungguhnya memindahkan organ tubuh ketika darurat merupakan pekerjaan yang mubah ( boleh ) dengan dalil firman Allah SWT, yang artinya : ”Sesungguhnya Allah telah menjelaskan perbuatan-perbuatan yang haram bagi mu kecuali ketika kamu dalam keadaan terpaksa (darurat).” (QS. Al An’am : 119)
2.     Hukum Transplantasi Dalam Keadaan Koma
Melakukan transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan masih hidup, meskipun dalam keadaan koma hukumnya tetap haram walaupun menurut medis bahwa si pendonor akan segera meninggal, karena hal itu dapat mempercepat kematian dan mendahului kehendak Allah. Hal tersebut dikatakan euthanasia atau memprcepat kematian.
Tidak boleh menurut Islam dengan alasan sebagai berikut:
a.    Hadits Nabi yang artinya : Tidak boleh membuat madhorat pada diri sendiri dan tidah boleh pula membuat madhorot pada orang lain” berdasarkan hadits tersebut, mengambil organ tubuh orang dalam keadaan sekarat/ koma haram hukumnya karena dapat mempercepat kematiannya.
b.    Manusia wajib berusaha menyembuhkan penyakitnya demi mempertahankan hidupnya, karena hidup dan mati da di tangan Allah.
3.     Hukum Mendonorkan organ tubuh dari manusia yang sudah meninggal.
 Secara medis seseorang dikatakan mati ketika batang otak tidak berfungsi. Saat itu, bagian tubuh yang lain, khususnya jantung, bisa jadi masih berdenyut. “Namun, lambat laun akan ikut mati secara bertahap,” tuturnya. Nah, sebelum semua organ itu mati, proses transplantasi bisa dilakukan. Pada saat itulah, dokter berkesempatan untuk mengambil organ tubuh yang akan didonorkan. Sebab, organ masih bisa disambungkan ke bagian tubuh penerima donor. Waktunya sekitar 30 menit.
Definisi mati, menurut KUHP kematian seseorang dilihat dari detak jantungnya. Ketika jantung berhenti berdenyut, seseorang dinyatakan telah mati.
a.    Pendapat pertama,
Pendapat pertama mengatakan hukumnya haram. Dalil pendapat pertama : Kesucian tubuh manusia setiap bentuk agresi atas tubuh manusia merupakan hal yang terlarang, karena ada beberapa perintah Al-Qur’an dan Hadist Yang melarang. Diantara hadist yang terkenal Diriwayatkan dari A’isyah Ummul Mu’minin RA bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya : Memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang orang hidup.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban).
 Tubuh manusia adalah amanah; Hidup,diri,dan tubuh manusia pada dasarnya bukanlah milik manusia tapi merupakan amanah dari Allah yang harus dijaga,karena itu manusia tidak memiliki hak untuk mendonorkan nya kepada orang lain . Tubuh manusia tidak boleh diperlakukan sebagai benda material semata; transplantasi dilakukan dengan memotong organ tubuh seseorang untuk diletakkan (dicangkokkan) pada tubuh orang lain,padahal tubuh manusia bukanlah benda material semata yang dapat dipotong dan dipindah-pindahkan
b.    Pendapat kedua,
Pendapat kedua menyatakan hukumnya boleh atau mubah. Transplantasi merupakan salah satu jenis pengobatan, sedangkan pengobatan merupakan hal yang disuruh dan disyari’atkan dalam islam. Terdapat dua hal yang mudlarat dalam masalah ini yaitu antar memotong bagian tubuh yang suci dan dijaga dan antara menyelamatkan kehidupan yang membutuhkan kepada organ tubuh mayat tersebut. Namun kemudlaratan yang terbesar adalah kemudlaratan untuk menyelamatkan kehidupan manusia. Maka dipilihlah sesuatu yang kemudlaratannya terbesar untuk dihilangkan yaitu memotong organ mayat untuk menyelamatkan kehidupan manusia. Qiyas atas maslahat membuka perut mayat wanita yang hamil yang lewat 6 bulan yang disangka kuat hidup anaknya. Qiyas atas boleh membuka perut mayat jika di dalam perutnya terdapat harta orang lain. Terdapat dua Hal kemaslahatan yaitu antara maslahah menjaga kesucian mayat dan antara maslahah menyelamatkan nyawa manusia yang sakit dengan transplantasi organ mayat tersebut.
Meskipun pekerjaan tranplantasi pada dasarnya haram walau pada orang yang telah meninggal, demi kemaslahatan membantu orang yang sangat membutuhkan. Namun pendapat yang membolehkan transplantasi organ mayat ini memiliki syarat-syarat yaitu : Ada persetujuan/izin dari pemilik organ asli (atau wasiat ) atau dari ahli warisnya (sesuai tingkatan ahli waris) ,tanpa paksaan ,Si resipien ( yang menerima donor ) telah mengetahui persis segala implikasi pencangkokan . Pencangkokan dilakukan oleh yang ahli dalam ilmu pencangkokan tersebut Tidak boleh menuntut ganti pendonoran organ dengan harta (uang dan sebagainya) Organ tidak diperoleh melalui proses transaksi jual beli karena tidak sah menjual belikan organ tubuh manusia. Seseorang muslim hanya boleh menerima organ dari muslim lainnya kecuali dalam keadaan mendesak (tidak ada muslim yang cocok organnya atau tidak bersedia di dinorkan dengan beberapa alasan). Allah berfirman, yang artinya : ”Dan barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya” (QS. Al Maidah : 32)
Sementara hasil keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama sebagaimana termaktub dalam ahkamul fuqaha mengatakan bahwa pecangkokan organ tubuh manusia ada yang membolehkan dengan syarat : Karena diperlukan, dengan ketentuan tertib pengamanan dan tidak ditemukan selain organ tubuh manusia itu.
4.     Hukum Transplantasi Non-Muslim
Mencangkok (transplantasi) organ dari tubuh seorang non-muslim kepada tubuh seorang muslim pada dasarnya tidak terlarang. Mengapa? Karena organ tubuh manusia tidak diidentifikasi sebagai Islam atau kafir, ia hanya merupakan alat bagi manusia yang dipergunakannya sesuai dengan akidah dan pandangan hidupnya. Apabila suatu organ tubuh dipindahkan dari orang kafir kepada orang Muslim, maka ia menjadi bagian dari wujud si muslim itu dan menjadi alat baginya untuk menjalankan misi hidupnya, sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT.
Hal ini sama dengan orang muslim yang mengambil senjata orang kafir. Dan mempergunakannya untuk berperang fi sabilillah. Bahkan sesungguhnya semua organ di dalam tubuh seorang kafir itu adalah pada hakikatnya muslim (tunduk dan menyerah kepada Allah). Karena organ tubuh itu adalah makhluk Allah, di mana benda-benda itu bertasbih dan bersujud kepada Allah SWT, hanya saja kita tidak mengerti cara mereka bertasbih. Kekafiran atau keIslaman seseorang tidak berpengaruh terhadap organ tubuhnya, termasuk terhadap hatinya (organnya) sendiri. Memang AL-Quran sering menyebut istilah hati yang sering diklasifikasikan sehat dan sakit, iman dan ragu, mati dan hidup.
Namun sebenarnya yang dimaksud di sini bukanlah organ tubuh yang dapat diraba (ditangkap dengan indra), bukan yang termasuk bidang garap dokter spesialis dan ahli anatomi. Sebab yang demikian itu tidak berbeda antara yang beriman dan yang kafir, serta antara yang taat dan yang bermaksiat. Tetapi yang dimaksud dengan hati orang kafir di dalam istilah Al-Quran adalah makna ruhiyahnya, yang dengannya manusia merasa, berpikir, dan memahami sesuatu, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al Hajj, yang artinya : Lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami “(QS. Al Hajj : 46)
Allah juga berfirman dalam Surat Al A’raf ayat 179, yang artinya : ”Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah)”.
Lalu bagaimana dengan firman Allah SWT yang menyebutkan bahwa Orang musyrik itu najis? Benar bahwa Allah SWT telah menyebutkan bahwa orang musyrik itu najis, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran: Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis” (QS. At Taubah : 28)
Namun para ulama sepakat mengatakan bahwa najis’ dalam ayat tersebut bukanlah dimaksudkan untuk najis indrawi yang berhubungan Dengan badan, melainkan najis maknawi yang berhubungan dengan hati dan akal (pikiran). Karena itu tidak terdapat larangan bagi orang muslim untuk memanfaatkan organ tubuh orang nonmuslim, apabila memang diperlukan.
5.     Hukum Transplantasi Dengan Hewan Najis
Imam al-Nawawi (w. abad VI) dalam karyanya Minhaj al-Talibin mengatakan, : Jika seseorang menyambung tulangnya dengan barang yang najis karena tidak ada barang yang suci maka hukumnya udhur (tidak apa-apa). Namun, apabila ada barang yang suci kemudian disambung dengan barang yang najis maka wajib dibuka jika tidak menimbulkan bahaya”.
Zakariya al Ansoari dalam karyanya Fathu al Wahhab Sharh Manhaj al Tullab, kitab Manhaj al Tullab merupakan kitab ringkasan dari kitab Minhaj al Talibin karya Imam al Nawawi. Zakariya al Ansoari mengatakan :Jika ada seseorang melakukan penyambungan tulangnya atas dasar butuh dengan tulang yang najis dengan alasan tidak ada tulang lain yang cocok. Maka hal itu, diperbolehkan dan sah sholatnya dengan tulang najis tersebut. Kecuali, jika dalam penyambungan itu tidak ada unsur kebutuhan atau ada tulang lain yang suci selain tulang manusia maka ia wajib membuka (mencabut) kembali tulang najis tersebut walaupun sudah tertutup oleh daging. Dengan catatan, jika proses pengambilan tulang najis tersebut aman (tidak membahayakan) dan tidak menyebabkan kematian”.
Zakariya mengatakan bahwa tidak diperbolehkannya menyambung tulang dengan tulang manusia, jika yang lain masih ada walaupun tulangnya hewan yang najis seperti celeng dan anjing. Oleh karena itu, jika yang lain baik yang suci maupun yang najis tidak ada, maka menyambung tulang dengan tulang manusia itu hukumnya boleh. Dalam ‘ibarah (teks) di atas, Ibn Hajr senada dengan al-Bujayrami, bahwa ia memperbolehkan transplantasi organ manusia dengan organ manusia dalam keadaan jika sesuatu yang suci dan yang najis tidak ada. Jika masih ditemukan/ada tulang yang najis maka tidak boleh memakai tulang manusia. Kalangan Syafi’iyah berpendapat, menyambung tulang dengan benda najis, jika memang tidak ditemukan benda yang lain. Menurut kalangan Hanafiyah, berobat dengan haram, tidak dibolehkan.
Dari penjelasan di atas, maka dapat mengambil kesimpulan bahwa transplantasi dalam hukum Islam terjadi pertentangan di antara kalangan ulama apakah Boleh melakukan transplantasi atau tidak. Dalam hal ini masih terjadi perbedaan pendapat antar ulama. Wallahu alam bissawab.
 
Mahajuddin. 2008. Masail Fiqhiyah Berbagau Kasus yang Dihadapi Islam masa kini. Jakarta: Kalam Mulia.
Nata, Abuddin.2003. Masail Fiqhiyah. Jakarta Timur : Prenada Media
Yasid, Abu. 2005. Fiqh Realitas Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta : Pustaka Media
 Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah

Tidak ada komentar: