-->

Rabu, 14 Maret 2012

ALIRAN MU'TAZILAH

Kaum Mu’tazilah adalah suatu kaum yang membikin heboh dunia Islam selama 300 tahun pada abad-abad permulaan Islam. Kaum Mu’tazilah pernah dalam sejarahnya membunuh ribuan ulama Islam yang terkenal Syeikh Buwaithi, imam pengganti imam Syafi’i, dalam satu peristiwa yang dinamai ”Peristiwa Qur’an Makhluk”. 
Faham Mu’tazilah telah tersebar dan berkuasa pada masa-masa khalifah Ma’mun bin Harun Rasyid, Khalifah Al Mu’tashim bin Harun Rasyid dan Khalifah Al Watsiq bin Al Mu’tashim sekitar abad-abad ketiga, keempat dan kelima Hijriyah. 
Bahkan sampai sekarang pemikiran faham Mu’tazilah ini masih menyusup ke dalam masyarakat umat Islam di barat dan di timur dan bahkan sampai ke Indonesia.
A.   LATAR BELAKANG LAHIRNYA MU’TAZILAH
           Perkataan ”Mu’tazilah” berasal dari kata ”I’itizal”, artinya membersihkan diri. Kaum Mu’tazilah berarti kaum yang membersihkan diri.
Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad kedua hijriyah di kota Bashrah (Irak), pusat ilmu dan peradaban Islam pada masa itu, tempat peraduan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam agama.
Ada beberapa pendapat yang berbeda dalam menerangkan sebab-sebab munculnya kaum Mu’tazilah ini, yaitu :
1.  Ada seorang guru besar di Baghdad, namanya Syeikh Hasan Bashri (meninggal tahun 110 H). Di antara muridnya ada seorang yang bernama Wasil bin Atha’ (meninggal pada tahun 131 H). Pada suatu hari Imam Hasan Bashri menerangkan bahwa orang Islam yang telah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi ia kebetulan mengerjakan dosa besar, maka orang itu tetap muslim tetapi muslim durhaka. Di akhirat nanti, kalau ia wafat sebelum taubat dari dosanya, ia dimasukkan ke dalam neraka buat sementara untuk menerima hukuman atas perbuatan dosanya, tetapi sudah menjalankan hukuman ia dikeluarkan dari dalam neraka dan dimasukkan ke dalam surga sebagai seorang mukmin dan muslim.
Wasil bin Atha’ tidak sesuai dengan pendapat gurunya itu, lantas ia membentak, lalu keluar dari majelis gurunya dan kemudian mengadakan majelis lain di suatu pojok dari Masjid Basrah itu.
Oleh karena ini, maka Wasil bin Atha’ dinamai kaum Mu’tazilah, karena ia mengasingkan diri dari gurunya.
Dalam mengasingkan diri ini ia diikuti oleh seorang kawannya, namanya Umar bin ’Ubeid (meninggal 145 H).
Sejarah tak mencatat tanggal hari dan bulan perceraian, tetapi kalau usianya Wasil bin Atha’ ketika itu 40 tahun, yaitu usia seorang yang sudah bertanggung jawab, maka gerakan ini dimulai tahun 120 Hijriyah, karena lahirnya Wasil bin Atha’ adalah pada tahun 80 Hijriyah.
Jadi dapat dikatakan secara bulat bahwa permulaan munculnya faham Mu’tazilah pada permulaan abad ke II Hijriyah, dengan guru besarnya Wasil bin Atha’ dan Umar bin ’Ubeid. Yang berkuasa ketika itu Khalifah Hisyam bin Abdul Muluk dari bani Umayyah, yaitu dari tahun 100-125 H.
2.   Adapula orang mengatakan bahwa sebabnya maka mereka dinamai Mu’tazilah ialah karena mengasingkan diri dari masyarakat. Orang-orang Mu’tazilah ini pada mulanya adalah orang-orang Syi’ah  yang patah hati akibat menyerahnya Khalifah Hasan bin Ali bin Abi Thalib kepada Khalifah Mu’awiyah dari bani Umayyah.
Mereka memisahkan diri dari siasah (politik) dan hanya mengadakan kegiatan dalam bidang ilmu pengetahuan. Demikian dikatakan oleh Abdul Hasan Tharaifi, pengarang buku ”Ahlul Hawa wal Bida”, yang di kutip oleh Muhammad Abu Zaharah dalam bukunya yang bernama ”As Syafi’i”, pagina 117.
Kalau ucapan Tharaifi benar, maka tanggal permulaan gerakan Mu’tazilah ini adalah sekitar tahun 40 Hijriyah, karena penyerahan pemerintahan Sayyidina Hasan kepada Mu’awiyah adalah pada tahun 40 Hijriyah.
Baik Tharaifi maupun Muhammad Abu Zaharah tidak menerangkan nama orang-orang yang patah hati itu dan juga tidak menerangkan tahun-tahunnya.
Karena itu dalil Tharaifi ini tidak begitu kuat, apalagi kalau di lihat kenyataan-kenyataannya, bahwa orang-orang Mu’tazilah dalam prakteknya bukan patah hati tetapi banyak sekali mencapuri urusan-urusan politik dan bahkan sampai mendominasi Khalifah Al Ma’mun, Khalifah Al Mu’tashim dan Khalifah Al Watsiq dan bahkan diantara mereka ada yang duduk mendampingi Kepala Negara sebagai penasehatnya.
3.   Ada penulis-penulis lain yang mengatakan bahwa kaum Mu’tazilah itu adalah kaum yang mengasingkan diri dari keduniaan. Mereka memakai pakaian yang jelek-jelek, memakai kain yang kasar-kasar, tidak mewah dan dalam hidupnya sampai ke derajat meminta-minta (darawisy).
Keterangan ini pun sangat lemah, karena dalam kenyataannya kemudian, banyak kaum Mu’tazilah yang gagah-gagah, pakai rumah mewah-mewah, pakai kendaraan mewah-mewah, sesuai dengan kedudukan mereka di samping khalifah-khalifah.
4.   Pengarang buku ”Fajarul Islam” Ahmad Amin, tidak begitu menerima semuanya itu, persoalan kaum Mu’tazilah bukan sekedar menyisihkan diri dari majelis guru, bukan sekedar menyisihkan diri dari masyarakat atau sekedar tidak suka memakai pakaian mewah, tetapi lebih mendalam dari itu. Mereka menyisihkan fahamnya dan I’itiqadnya dari faham dan I’itiqadnya umat Islam yang banyak.
Pendapat ini dikuatkan oleh pengarang kitab ”Al Farqu Binal Firaq”, yang mengatakan bahwa Syeikh Hasan Basri mengatakan ketika kedua orang itu menyisihkan diri bahwa mereka telah menjauhkan diri dari pendapat umum.
Pendapat ini memang dekat dengan kebenaran, karena dari dulu sampai sekarang fatwa-fatwa kaum Mu’tazilah banyak yang ganjil, banyak yang di luar dari faham nabi Muhammad SAW, dan sahabat-sahabat beliau. Jadi mereka benar-benar Mu’tazilah, (tergelincir) dalam arti kata yang sebenarnya.
Demikian tentang keterangan nama.

B.   POKOK-POKOK AJARAN KAUM MU’TAZILAH
Pokok ajaran kaum Mu’tazilah berkisar pada 5 (lima) soal, yaitu :
1.    Tauhid (ke Esaan Tuhan).
2.    Al ’Adl (keadilan Tuhan).
3.    Al Wa’du Wal Wa’id (janji baik dan janji buruk).
4.    Manzilah Bainal Manzilatein (tempat diantara dua tempat).
5.    Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar.
Tauhid kaum Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, tetapi Tuhan adalah dzat yang tunggal tanpa sifat.
Tuhan mendengar dengan dzat-Nya, Tuhan melihat dengan dzat-Nya, Tuhan berkata dengan dzat-Nya. Sifat Tuhan tidak ada, kata kaum Mu’tazilah.
Karena itu mereka memfatwakan dan bahkan pernah memaksa orang supaya meyakini bahwa Al Qur’an itu makhluk, bahwa Al Qur’an itu Hadist, bukan kata Allah SWT, yang qadim sebagai I’itiqad kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Fatwa ini telah menghebohkan dunia Islam dan membunuh beribu-ribu ulama Islam pada abad ke II hijriyah dalam peristiwa yang dinamai ”Peristiwa Qur’an Makhluk”.
Pokok kedua ialah keadilan.
Tuhan itu adil, kata mereka.
Manusia di hukum oleh Tuhan karena ia mengerjakan dosa dan di beri pahala oleh-Nya kalau ia membuat amal ibadah yang baik.
Oleh karena itu – kata kaum Mu’tazilah, sekalian perbuatan manusia di atas dunia ini di buat dan diciptakan oleh manusia sendiri, biar perbuatan baik atau perbuatan buruk. Semua pekerjaan manusia tidak ada sangkut pautnya dengan Tuhan dan bahkan Tuhan tidak tahu apa yang dikerjakan oleh manusia.
Pokok ketiga tentang janji baik dan janji buruk.
Tuhan telah berjanji – kata kaum Mu’tazilah, bahwa siapa yang durhaka akan dihukum-Nya dan siapa yang mengerjakan pekerjaan baik akan diberi-Nya upah. Oleh karena itu, sekalian orang yang berbuat dosa tidak akan diampuni-Nya lagi kalau ia wafat sebelum taubat dan akan terus masuk neraka tak keluar lagi. Ini sesuai dengan janji-Nya.
Akan tetapi, kalau orang mukmin berbuat dosa maka ia di hukum dalam neraka di suatu tempat, lain dari tempatnya orang kafir. Nerakanya agak dingin, mereka tinggal diantara dua tempat, yakni antara surga dan neraka. Inilah pokok keempat dari pengajian Mu’tazilah, yaitu ”tempat diantara dua tempat”.
Adapun ”amar ma’ruf” dan ”nahi mungkar” adalah wajib bagi setiap orang Islam, sama dengan kepercayaan kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah, akan tetapi yang ma’ruf bagi kaum Mu’tazilah ialah hanya pendapat mereka, bukan ma’ruf yang sesuai dengan Al Qur’an dan Hadist.
Berdasarkan pangkal yang lima ini banyaklah fatwa-fatwa kaum Mu’tazilah yang bertentangan dengan fatwa dunia Islam. Di dalam, kitab-kitab Usuluddin terdapat banyak sekali perkataan ”Khilafan Lil Mu’tazilah” yang artinya ”berbeda dengan faham Mu’tazilah”.
Oleh karena itu, kemudian umat Islam telah sepakat menetapkan bahwa faham dan I’itiqad kaum Mu’tazilah adalah salah, tidak sesuai dengan i’tiqad Nabi Muhammad SAW, dan sahabat-sahabatnya, tidak sesuai dengan Al Qur’an dan Hadist.
Imam mereka yang dinamai ”Qadli Qudlat” (Qadli dari sekalian Qadli) bernama Abdul Jabbar bin Ahmad (wafat : 415 H), mengarang sebuah buku bernama ”Syarah Usulil Khamsah” (Penjelasan tentang pokok yang lima) tebal 804 halaman, dimana diterangkan panjang lebar pokok-pokok keimanan kaum Mu’tazilah yang lima.

C.   KONSEP PEMIKIRAN KALAM ALIRAN MU’TAZILAH
1.   Ketauhidan
Mu’tazilah menafikan dan meniadakan Allah Ta’ala itu bersifat dengan sifat-sifat yang azali dari ilmu, qudrat, hayat dan sebagainya sebagai dzat-Nya.
Perkataan yang mengatakan bahwa Allah itu mempunyai sifat-sifat yang qadim, akan menunjukkan bahwa Allah itu berbilang. Padahal Allah Maha Esa, Tiada yang menyekutuinya satupun juga. Dan tidaklah sekali-kali dzat-Nya itu banyak atau berbilang. Allah tidak seperti sesuatu apapun, Allah tidak berjisim, tidak bersifat, tidak berunsur, dan tidak juga berjauhan.
Mu’tazilah mentakwilkan segala ayat-ayat yang mengandung pengertian tentang Allah itu bersifat, sifat-sifat itu dapat membawa faham bahwa Allah itu sama dengan makhluk-Nya. Karena Alah tidak sama dengan makhluk-Nya ( المخالفة للحوادث ).
2.   Dosa Besar
Orang Islam yang mengerjakan dosa besar, yang sampai matinya belum taubat, orang tersebut dihukumi tidak kafir dan tidak pula mukmin, tetapi diantara keduanya itu. Mereka itu dinamakan orang ”fasiq”. Berhaklah mereka masuk ke neraka karena kefasikannya dan kekal-lah mereka di neraka itu. Karena menurut pendapat aliran Mu’tazilah, orang yang demikian itu tidak kafir dan tidaklah mukmin, jadi ada suatu tempat tersendiri diantara keduanya untuk mereka yang melakukan dosa besar.
3.   Qadar
Mereka berpendapat : Bukanlah Allah yang menjadikan segala perbuatan makhluk, tetapi makhluk itu sendirilah yang menjadikan dan menggerakkan segala perbuatannya. Oleh karena itulah, mereka di beri dosa dan pahala.
Aliran Mu’tazilah mempertahankan adanya ”kemauan” dan ”kebebasan pilihan”, karena mereka hendak menyelamatkan prinsip ”keadilan Tuhan”, yang tidak mungkin memberi pahala atau siksa kecuali atas perbuatan-perbuatan yang keluar dari manusia itu sendiri, yang tahu akan perbuatannya dan menghendakinya pula. Karena akal manusia bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan, maka artinya ia dapat mengadakan pilihan.
Aliran Mu’tazilah memberikan alasan-alasan tentang adanya kebebasan pilihan pada manusia sebagai berikut :
a.   Rasa kebebasan
Manusia merasakan sendiri dalam hatinya akan terjadi perbuatan menurut motif dan dorongannya. Kalau mau bergerak bergeraklah dia, dan kalau mau diam, diamlah dia. Motif dan dorongan menimbulkan ’azam (keputusan untuk berbuat), yang merupakan syarat utama bagi perbuatan bebas, karena apa yang disebut ”kemauan” tidak lain hanya kecondongan jiwa akan sesuatu perbuatan.
b.   Adanya taklif (perintah pembebanan)
Janji dan ancaman dipertalikan dengan taklif, yaitu suatu tuntutan kepada manusia untuk memenuhinya. Taklif tidak mungkin diadakan kecuali apabila seseorang mukallaf bebas dan sanggup melaksanakannya. Taklif tidak akan ada artinya, baik yang datang dari Tuhan maupun yang datang dari akal-pikiran, apabila kebebasan tidak ada.
4.   Kedudukan Akal
Sepanjang sejarah tersebut bahwa salah satu keistimewaan bagi kaum Mu’tazilah ialah cara mereka membentuk madzhabnya, banyak mempergunakan akal dan lebih mengutamakan akal, bukan mengutamakan Al Qur’an dan Hadist.
Kalau di timbang akal dengan hadist nabi Muhammad SAW, maka akal lebih berat bagi mereka. Mereka lebih memuji akal mereka di banding dengan ayat-ayat suci dan hadist-hadist nabi.
Barang sesuatu ditimbangnya lebih dahulu dengan akalnya, mana yang tidak sesuai dengan akalnya di buang, walaupun ada Hadist atau ayat Al Qur’an yang bertalian dengan masalah itu tetapi berlawanan dengan akalnya.
Semua itu dapat di lihat dari ciri-ciri kaum Mu’tazilah yang suka berdebat, terutama di hadapan umum, barang siapa yang berlainan pendapatnya dengan mereka lantas di ajak berdebat, di ajak bertanding di hadapan umum, karena mereka sangat yakin dengan kekuatan akal mereka, padahal pemikiran mereka ini ternyata banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur luar, antara lain dari kalangan orang-orang yahudi dan juga pemikiran filsafat Plato dan Aristoteles di dalam filsafat Yunani.
Sebagai contoh, tentang Mi’raj nabi Muhammad SAW, kaum Mu’tazilah tidak menerima adanya Mi’raj walaupun ada ayat Al Qur’an atau Hadist nabi yang shahih menyatakan hal itu, karena hal itu – katanya – bertentangan dengan akal.
Kaum Mu’tazilah menolak adanya bangkit dari kubur dan siksa kubur. Hal itu – katanya – bertentangan dengan akal, karena mustahil orang yang sudah mati dan terbaring dalam tanah yang sesempit itu dibangunkan dan di suruh duduk, walaupun ada hadist shahih yang menyatakan hal ini.
Oleh karena itu, kaum Mu’tazilah dalam kitab-kitab tafsirannya mencoba menafsirkan Al Qur’an dengan akal dan memutar ayat-ayat suci itu dengan akalnya. Bahkan kaum Mu’tazilah berpendirian dengan pernyataan mereka bahwa Al Qur’an itu makhluk adalah berkaitan dengan pendiriannya bahwa Allah SWT, itu tidak bersifat.
Hal tersebut di tentang oleh kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah terutama oleh Syeikh Imam Buwaithi, yang pada akhirnya di bunuh oleh kaum Mu’tazilah di dalam peristiwa yang di beri nama ”Peristiwa Qur’an Makhluk”.

Nasir, Sahilun A,. 1996. Pengantar Ilmu Kalam. Edisi Pertama. Cetakan Ketiga. PT Raja Grafindo. Jakarta.
Abbar, Siradjuddin. 1980. I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah. Pustaka Tarbiyah. Jakarta.
Hanafi A,. 1980. Pengantar Theology Islam. Pustaka Al Husna. Jakarta.
Mu’in, M. Taib Thahir Abdul. 1964. Ilmu Kalam. Widjaya. Jakarta

Tidak ada komentar: