-->

Jumat, 10 Februari 2012

BIOGRAFI IMAM SYAFI'I


A.   BIOGRAFI IMAM SYAFI’I
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i. Beliau lahir di kota Gazza (Palestina) pada tahun 150 Hijriyah. Konon ada yang mengatakan lahirnya Imam Syafi’i bersamaan dengan wafatnya 2 (dua) orang ulama besar, yaitu Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Juraij. Pada waktu berumur 2 tahun Syafi’i kecil dibawa pulang ke kampung halamannya di Makkah oleh ibu kandungnya. Sementara ketika baru berumur 9 tahun, dia sudah hafal seluruh isi bacaan Al Qur’an dan kitab hadist. Demikianlah anak yatim ini menghabiskan waktunya dengan mempelajari berbagai ilmu agama.
Memasuki umur 20 tahun, Imam Syafi’i hijrah ke Madinnah. Perjalanan panjang ini beliau tempuh dengan naik unta. Selama 8 hari perjalanan beliau telah mengkhatamkan bacaan Al Qur’an sebanyak 16 kali. Di tempat ini beliau berguru kepada Imam Malik selama kurang lebih 2 tahun. Dua tahun sesudahnya beliau hijrah ke Kuffah. Di sini beliau mempelajari hadist, fiqh, tafsir dan ethnology (ilmu pengetahuan tetang kehidupan bangsa-bangsa). Dari Kuffah beliau melanjutkan perjalanan ke Baghdad dan beberapa kota besar di Irak.
Setelah kurang lebih 2 tahun rihlah (suatu perjalanan ke sesuatu tujuan dengan tujuan tertentu) ilmiah ke Baghdad, Kuffah, Persi dan Palestina, beliau kemudian kembali lagi ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik. Kepulangan Imam Syafi’i membuat sang guru kagum terhadap perkembangan ilmunya yang begitu pesat. Bahkan Imam Malik menginginkan agar Imam Syafi’i dapat berfatwa sendiri. Beliau menetap di Madinah sampai Imam Malik Wafat pada tahun 179 Hijriyah.
Atas permintaan Gubernur Yaman, beliau bersedia pindah ke kota tersebut. Di kota baru ini beliau diangkat menjadi khatib daulah (sekretaris negara). Tragisnya, di institusi pemerintahan ini beliau mendapat fitnah sehingga dibelenggu dan diseret ke pengadilan. Beliau dihadapkan kepada Khalifah Harun Al Rasyid di Baghdad dengan tuduhan melakukan upaya makar (menentang) Pemerintah. Namun, setelah jelas masalahnya akhirnya beliau dilepaskan juga. Kepergian beliau memenuhi panggilan negara ini disebut hijrah Imam Syafi’i yang kedua.
Setelah selama 17 tahun malang melintang di negara lain, beliau akhirnya pulang ke Makkah. Disini beliau membangun sebuah bilik kecil di luar kota. Masyarakat menganggap Imam Syafi’i sebagai ulama besar yang menjadi panutan dan terpercaya fatwanya.

Rabu, 08 Februari 2012

ULAMA, MACAM-MACAM ULAMA, PENAMPILAN ULAMA DAN KEPEMIMPINAN ULAMA

   A. PENGERTIAN ULAMA’
Dalam bahasa Arab kata Ulama’ merupakan bentuk jamak dari ’Aalim atau ’Aliim. Oleh karena itu Ulama biasanya diterjemahkan : ”Orang-orang yang amat luas ilmunya”. Di dalam Al Qur’an disebutkan :
إنمايخشى الله من عبده العلمؤ (فاطر : ۲۸)
Artinya : ”Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah Ulama”. (Fathir : 28)
Dari keterangan di atas, dapat diambil pengertian bahwa Ulama’ adalah orang yang luas ilmunya dan dengan ilmu itu ia memiliki kadar ketakwaan atau khosyyah (takut) yang tinggi. Di samping itu, juga masih ada pengertian-pengertian yang lain, misalnya :
1.    Imam ibnu Katsir
العالم من خشي الرحمن ورغب فيما رغب الله فيه وزهد فيما سخط الله
Artinya : ”Orang alim adalah orang yang merasa khosyyah kepada Allah, senang terhadap hal-hal yang disenangi Allah serta menghindarkan diri dari segala hal yang mendatangkan murka Allah
2.    Imam as Suyuti
العالم من خشي الله
Artinya : ”Orang alim adalah orang yang merasa khosyyah (takut) kepada Allah
كفى بالمرء علما أن يخشى الله ، وكفى بالمرء جهلا أن يعجب بعمله
Artinya : ”Cukup membuktikan kealiman seseorang lantaran khosyyah (takut) kepada Allah, dan cukup membuktikan kebodohan seorang lantaran mengagumi amalnya sendiri
Dengan demikian menjadi jelas bahwa kekhususan (ciri khas) Ulama’ adalah rasa khosyyah atau ketakwaan kepada Allah SWT. Takwa itu sediri hanya muncul dari buah ilmunya yang luas, bukan dari spealisasi jenis ilmu yang ia miliki. Dengan demikian, orang yang sama sekali tidak memiliki ilmu syari’ah (ilmu agama) atau memiliki akan tetapi Cuma sedikit, jelas tidak mungkin memiliki rasa khosyyah (takut) dan takwa kepada Allah. Orang tersebut kurang mengenal Allah SWT, bagaimana dapat takwa? Lebih jauh Imam as Suyuti mengatakan :

Selasa, 07 Februari 2012

MAHABBAH KEPADA RASULULLAH


Mahabbah berasal dari kata Ahabba, Yuhibbu, Mahabbatan, yang secara harfiah berarti ”mencintai secara mendalam”. Mahabbah dapat pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak. Perasaan Mahabbah terhadap Rasulullah SW, adalah masalah yang amat prinsip. Mengapa demikian? Hal ini ditegaskan Nabi sendiri dalam Hadist :
لايؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين (رواه البخارى ومسلم)
Artinya : ”Tidak sempurna iman salah seorang diantara kamu sekalian sehingga saya lebih dicintai olehnya daripada orang tuanya, anaknya dan manusia semuanya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sabda lain, Nabi Muhammad SAW, menyebutkan bahwa siapa saja yang mencintainya akan menjadi penghuni syurga.
من أحياسنتي فقد أحبني ومن أحبني كان معي فى الجنة (رواه البخارى عن أنس)
Artinya : ”Barangsiapa menghidupkan sunnahku maka sesungguhnya dia mencintaiku dan barang siapa mencintaiku maka dia bersamaku di dalam syurga”. (HR. Al Sajzi)
Jadi, iman kita tidak ada artinya apabila belum menjadikan Rasulullah SAW, sebagai orang yang paling dicintai dan paling disayang, sebab Rasulullah SAW, adalah petunjuk ke jalan yang benar sekaligus penegak keadilan. Tanpa diturunkannya beliau, kita akan tersesat dan tidak selamat. Karena pentingnya rasa mahabbah (cinta) tersebut, maka wajarlah apabila orang-orang yang memilikinya mendapat kemulian disisi Allah SWT.
Alkisah, ada seorang Baduwi datang dari dusun pedalaman dengan pakaian compang-camping, kancing bajunya terlepas, rambutnya tidak terjamah sisir, dan kakinya telanjang. Di hadapan Rasulullah SAW, orang baduwi tersebut bertanya : ”Hai Muhammad,

Senin, 06 Februari 2012

DASAR HUKUM BERMADZHAB

Madzhab menurut bahasa berarti jalan, aliran, pendapat atau paham, sedangkan menurut istilah madzhab adalah metode dan hukum-hukum tentang berbagai macam masalah yang telah dilakukan, diyakini dan dirumuskan oleh imam mujtahid.
Jadi, bermadzhab adalah mengikuti jalan berpikir salah seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari sumber Al-Qur’an dan hadits.
Setiap orang Islam diwajibkan mempelajari ajaran agamanya dan memahami hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an dan hadits. Namun kenyataannya tidak setiap orang mampu memahami dan mengamalkan isi kandungan dari dua sumber tersebut. Hanya sebagian saja yang mampu melakukan hal tersebut, dengan beberapa persyaratan yang ketat agar hasil ijtihadnya benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Keterangan, dari kitab Al Mizan Al Sya’rani Fatawi Kubra dan Nihayatussul :
كان سيدي علي الخواص رحمه الله إﺫسأله انسان عن التقيد بمﺬهب معين الآن . هل هو واجب أولا . يقول له يجب عليك التقيد بمﺬهب مادمت لم تصل إلى شهود عين الشريعة الأولى خوفا من الوقوع فى الضلال وعليه عمل الناس اليوم (الميزان الشعراني)
Jika tuanku yang mulia Ali Al Khawash r.h. ditanya oleh seorang tentang mengikuti madzhab tertentu sekarang ini, apakah wajib atau tidak? Beliau berkata : ”Anda harus mengikuti suatu madzhab selama Anda belum sampai mengetahui inti agama, karena khawatir terjatuh pada kesesatan”. Dan ia harus melaksanakan apa yang dilaksanakan oleh orang lain sekarang ini.
وبأن التقليد متعين للأئمة الأربعة . وقال لأن مﺬهبهم انتشرت حتى ظهر تقييد مطلقها وتخصيص عامها بخلاف غيرهم (الفتوي الكبرى في باب القضاء في الجزء الربع)
Sesungguhnya bertaklid (mengikuti suatu madzhab) itu tertentu kepada Imam yang empat (Maliki, Syafi’I, Hanafi, Hanbali), karena madzhab-madzhab mereka terlah tersebar luas sehingga Nampak jelas pembatasan hukum yang bersifat mutlak dan pengecualian hukum yang bersifat umum, berbeda dengan madzhab-madzhab yang lain.
قال صلى الله عليه وسلم "اتبعوا السواد الأعظم" . ولما اندرست المﺬاهب الحقة بانقراض . أئمتها إلا المﺬهب الأربعة التى انتشرت أتباعها كان أتباعها أتباعا للسواد الأعظم والخرج عنها خروجا عن السواد الأعظم (سلم الأصول شرح نهاية ؛ الجزء الربع)
Nabi SAW bersabda : ”Ikutilah mayoritas (umat Islam)”. Dan ketika madzhab-madzhab yang benar telah tiada, dengan wafatnya para imamnya, kecuali 4 (empat) madzhab yang mengikutinya tersebar luas, maka mengikuti madzhab empat tersebut berarti mengikuti mayoritas, dan keluar dari madzhab empat tersebut berarti keluar dari mayoritas.

          Dari sini, dapat kita simpulkan bahwa dasar hukum bermadzhab adalah wajib bagi orang-orang yang tidak mengerti inti dari agama. Hal ini dikarenakan pada sebuah kekhawatiran akan tersesat dalam proses memahami agama.