-->

Minggu, 02 Desember 2012

SYARAT, RUKUN DAN HAL YANG MEMBATALKAN PUASA MENURUT 4 MADZHAB

Di dalam melaksanakan ibadah puasa, ada beberapa hal yang harus kita ketahui agar puasa kita diterima disisi Allah SWT dan dicatat sebagai amal ibadah, diantaranya adalah :
1.   Syarat Puasa
Ulama fikih membagi syarat puasa terbagi menjadi 2, yakni syarat wajib dan syarat syah puasa. Akan tetapi, dalam penempatan mana yang syarat wajib dan mana yang syarat syah terdapat perbedaan pendapat dikalangan mereka.
a.   Syarat Wajib Puasa
1)   Muslim. Menurut jumhur Ulama, keislaman seseorang termasuk syarat syah puasa. Berdasarkan syarat ini, maka orang kafir tidak dikenai kewajiban puasa. Apabila orang kafir masuk Islam di bulan Ramadhan, maka ia wajib berpuasa pada sisa hari pada bulan Ramadhan tersebut, sedangkan hari-hari sebelumnya tidak perlu dikada. Hal ini didasarkan atas firman Allah yang Artinya : ”Katakanlah kepada orang-orang kafir itu : Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi, sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka ) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu”. (QS. Al Anfaal : 38)
2)   Baligh. Para Ulama sepakat hanya baligh saja yang termasuk dalam syarat wajib puasa, sedangkan berakal termasuk ke dalam syarat syah puasa. Akan tetapi, Ulama Madzhab Hanafi berpendapat bahwa yang menjadi syarat kewajiban puasa bagi seseorang adalah baligh dan berakal. Oleh sebab itu, anak kecil, orang gila, dan orang mabuk tidak diwajibkan berpuasa, karena mereka belum layak dibebani hukum. Hal ini sejalan dengan Hadist Nabi Muhammad dari Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab,
yang artinya : ”Tidak dibebani hukum tiga (kelompok orang), yaitu anak kecil sebelum baligh, orang gila sebelum sembuh, dan orang tidur sebelum mereka bangun”. (HR. Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan Daruqutni).
3)   Memiliki kemampuan dan kesehatan untuk melaksanakan puasa dan tidak sedang dalam perjalanan, karena orang yang sedang dalam keadaan sakit, tidak mampu karena tua renta, diperbolehkan berbuka puasa. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT yang Artinya : ”(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. (QS. Al Baqarah : 184).
Termasuk dalam kategori orang yang berat menjalankan puasa, menurut Ulama fikih, adalah wanita hamil dan sedang menyusui anaknya. Perjalanan yang membolehkan berbuka puasa itu adalah perjalanan yang jaraknya sama dengan jarak dibolehkannya meringkas shalat.
b.   Syarat Sah Puasa
1)   Berakal.
2)   Dimulai dengan niat.
3)   Tidak dalam keadaan haid dan nifas.
4)   Tidak ada yang merusak atau membatalkan puasa. Hal ini merupakan syarat syah yang pakai oleh Ulama Madzhab Hanafi.
Ulama fikih sepakat bahwa bersih dari junub tidaklah menjadi syarat syah puasa, karena dalam sebuah hadist dari Aisyah binti Abu Bakar RA, dan Ummu Salamah (keduanya istri Nabi Muhammad SAW) dinyatakan bahwa : ”Nabi Muhammad SAW pernah berjunub di waktu subuh pada bulan Ramadhan, dan Beliau tetap melanjutkan puasanya sampai terbenam matahari”. (HR. Al Bukhari dan Muslim)
2.   Rukun Puasa
Ulama fikih sepakat bahwa rukun puasa hanya satu, yaitu menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sadiq (fajar yang benar) sampai terbenamnya matahari. Dalam Hadist Rasulullah SAW, yang diriwayatkan Imam Abu Dawud dan Imam Ahmad bin Hanbal, ”Rasulullah SAW, bersabda : Jangan tinggalkan sahur kalian apabila Bilal telah adzan dan juga datang fajar yang memanjang (kazib)”. Azan Bilal bin Rabah di waktu fajar adalah adzan ketika waktu subuh belum masuk, yaitu ketika fajar kazib kelihatan dari ufuk timur. Hal ini menunjukkan bahwa batas permulaan menahan diri adalah sejak terbit fajar sadiq.
Adapun alasan yang mendasari rukun puasa hanya satu, yaitu menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sadiq (fajar yang benar) sampai terbenamnya matahari tersebut adalah firman Allah yang artinya : ”Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa”. (QS. Al Baqarah : 187)
Ulama madzhab Maliki dan madzhab Syafi’i menambahkan rukun lain yaitu niat. Landasan hukum ulama madzhab Maliki dan madzhab Syafi’i menjadikan niat sebagai salah satu rukun puasa adalah sabda Rasulullah SAW, yang Artinya : ”Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung kepada niat”. (HR. Al Bukhori, Muslim dan Ahmad bin Hanbal)
3.   Hal-hal yang membatalkan puasa
Terdapat perbedaan di kalangan Ulama fikih tentang hal-hal yang membatalkan puasa serta akibat hukum yang ditimbul daripadanya. Ada hal-hal yang membatalkan puasa yang hanya dibebani kewajiban  mengkadanya, dan ada juga hal-hal yang membatalkan puasa yang dibebani kewajiban kada dan kafarat.
a.   Ulama Madzhab Hanafi
Ulama Madzhab Hanafi mengemukakan beberapa hal yang membatalkan puasa dan dibebani kewajiban kada saja, sebagai berikut :
1)   Mengkonsumsi sesuatu yang bukan bersifat makanan dan bukan juga bersifat minuman.
2)   Makan atau meminum obat karena ada uzur syar’i (uzur yang dibenarkan oleh syari’at).
3)   Menyalurkan nafsu seksual secara tidak sempurna.
Adapun hal-hal yang membatalkan puasa yang berakibat kepada kewajiban mengkada dan sekaligus membayar kafarat, menurut Ulama Madzhab Hanafi terdiri atas :
1)   Mengkonsumsi makanan pokok tanpa ada uzur yang dibolehkan syar’i.
2)   Menyalurkan seksual secara sempurna melalui senggama pada kemaluan wanita ataupun duburnya.
b.   Ulama Madzhab Maliki
Ulama Madzhab Maliki mengemukakan beberapa hal yang membatalkan puasa dan dibebani kewajiban kada saja, sebagai berikut :
1)   Berbuka puasa wajib dengan sengaja selain puasa Ramadhan, seperti puasa kafarat dan puasa nadzar.
2)   Membatalkan puasa Ramadhan yang didalamnya tidak terpenuhi syarat-syarat kafarat.
3)   Membatalkan puasa sunnah dengan sengaja.
4)   Muntah dengan sengaja.
5)   Memasukkan benda cair ke dalam kerongkongan melalui hidung, mulut, ataupun telinga.
Adapun hal-hal yang membatalkan puasa yang berakibat kepada kewajiban mengkada dan sekaligus membayar kafarat, menurut Ulama Madzhab Maliki terdiri atas :
1)   Melakukan senggama di siang hari pada bulan Ramadhan, sekalipun tidak mengeluarkan mani.
2)   Mengeluarkan mani dan mazi dengan sengaja melalui berciuman, berpelukan, bercumbu dengan lawan jenis.
3)   Makan dan minum dengan sengaja.
c.   Ulama Madzhab Syafi’i
Ulama Madzhab Syafi’i mengemukakan beberapa hal yang membatalkan puasa dan dibebani kewajiban kada saja, sebagai berikut :
1)   Dengan sengaja memasukkan suatu benda ke dalam kerongkongan atau ke dalam anggota tubuh lainnya, seperti mulut, telinga, hidung, kemaluan, dan dubur.
2)   Tertelan air ketika berkumur atau membersihkan hidung.
3)   Muntah dengan sengaja.
4)   Masturbasi.
5)   Benar-benar salah perkiraan ketika sahur atau berbuka.
6)   Secara sengaja menelan dahak.
Adapun hal-hal yang membatalkan puasa yang berakibat kepada kewajiban mengkada dan sekaligus membayar kafarat, menurut Ulama Madzhab Syafi’i hanya satu, yaitu bersenggama dengan catatan :
1)   Telah berniat puasa sebelum fajar.
2)   Dilakukan dengan sengaja.
3)   Dalam keadaan sadar.
4)   Mengatahui bahwa hal itu haram dilakukan.
5)   Senggama dilakukan pada saat setelah terbit fajar sadiq sampai dengan terbenamnya matahari.
d.   Ulama Madzhab Hanbali
Ulama Madzhab Hanbali mengemukakan beberapa hal yang membatalkan puasa dan dibebani kewajiban kada saja, sebagai berikut :
1)   Memasukkan suatu benda dengan sengaja dan sadar ke dalam kerongkongan.
2)   Muntah dengan sengaja.
3)   Berbekam, jika mengeluarkan darah.
4)   Berciuman, bermasturbasi, bercumbu, dan berpelukan dibarengi syahwat, lalu keluar mani atau mazi.
5)   Murtad.
6)   Orang yang berpuasa wafat.
Adapun hal-hal yang membatalkan puasa yang berakibat kepada kewajiban mengkada dan sekaligus membayar kafarat, menurut Ulama Madzhab Hanbali hanya satu, yaitu bersenggama, baik yang disenggamai itu wanita dikemaluannya atau duburnya, baik keluar mani ataupun tidak.

Tidak ada komentar: