Transplantasi merupakan salah
satu temuan teknologi kedokteran modern dengan metode kerja berupa pemindahan
jaringan atau organ tubuh dari satu tempat ke tempat lainnya. Hal ini dapat
dilakukan pada satu individu atau dua individu.
Pada tahun 40-an telah diadakan pengujian
transplantasi organ hewan pada hewan juga kemudian disusul pada tahun 50-an
dari hewan ke manusia dan berhasil dan berkembang dari organ manusia kepada
organ manusia. Dari keberhasilan uji coba tersebut, timbul satu masalah baru
yang perlu dikaji dalam kaitannya dengan hukum Islam. Apakah transplantasi
organ tubuh manusia kepada manusia dibolehkan dalam hukum Islam atau tidak
?
A. PENGERTIAN TRANSPLANTASI
Transplantasi berasal dari bahasa Inggris to transplant, yang
berarti to move from one place to another, bergerak dari satu tempat ke
tempat lain. Adapun pengertian menurut ahli ilmu kedokteran, transplantasi itu
ialah : Pemindahan jaringan atau organ dari tempat satu ke tempat lain. Yang
dimaksud jaringan di sini ialah : Kumpulan sel-sel (bagian terkecil dari
individu) yang sama mempunyai fungsi tertentu.
Yang dimaksud organ ialah : Kumpulan jaringan yang mempunyai fungsi berbeda
sehingga merupakan satu kesatuan yang mempunyai fungsi tertentu, seperti
jantung, hati dan lain-lain.
Sedangkan transplantasi dalam literatur Arab kontemporer dikenal dengan
istilah naql al-a’d{a’ atau juga disebut dengan zar’u al-a’d{a’.
Kalau dalam literatur Arab klasik transplantasi disebut dengan istilah al-was}l
(penyambungan). Adapun pengertian transplantasi secara terperinci dalam
literatur Arab klasik dan kontemporer sama halnya dengan keterangan ilmu
kedokteran di atas. Sedang transplantasi di Indonesia lebih dikenal dengan
istilah pencangkokan.
1. Transplantasi jaringan seperti pencangkokan kornea mata.
2. Transplantasi organ seperti pencangkokan organ ginjal, jantung dan
sebagainya.
Melihat dari hubungan genetik antara donor (pemberi jaringan atau organ
yang ditransplantasikan) dari resipien (orang yang menerima pindahan jaringan
atau organ), ada tiga macam pencangkokan :
1. Auto transplantasi, yaitu transplantasi di mana
donor resipiennya satu individu. Seperti seorang yang pipinya dioperasi, untuk
memulihkan bentuk, diambilkan daging dari bagian badannya yang lain dalam
badannya sendiri.
2. Homo transplantasi, yakni di mana transplantasi
itu donor dan resipiennya individu yang sama jenisnya, (jenis di sini bukan
jenis kelamin, tetapi jenis manusia dengan manusia).
3. Hetero transplantasi ialah yang donor dan
resipiennya dua individu yang berlainan jenisnya, seperti transplantasi yang
donornya adalah hewan sedangkan resipiennya manusia.
Pada homo transplantasi ini bisa terjadi donor dan resipiennya dua
individu yang masih hidup, bisa juga terjadi antara donor yang telah meninggal
dunia yang disebut cadaver donor, sedang resipien masih hidup.
Pada auto transplantasi hampir selalu tidak pernah mendatangkan
reaksi penolakan, sehingga jaringan atau organ yang ditransplantasikan hampir
selalu dapat dipertahankan oleh resipien dalam jangka waktu yang cukup lama.
Pada homo transplantasi dikenal tiga kemungkinan :
1. Apabila resipien dan donor adalah saudara kembar yang berasal dari satu
telur, maka transplantasi hampir selalu tidak menyebabkan reaksi penolakan.
Pada golongan ini hasil transplantasinya serupa dengan hasil transplantasi pada
auto transplantasi.
2. Apabila resipien dan donor adalah saudara kandung atau salah satunya adalah
orang tuanya, maka reaksi penolakan pada golongan ini lebih besar daripada
golongan pertama, tetapi masih lebih kecil daripada golongan ketiga.
3. Apabila resipien dan donor adalah dua orang yang tidak ada hubungan
saudara, maka kemungkinan besar transplantasi selalu menyebabkan reaksi
penolakan.
Pada waktu sekarang homo transplantasi paling sering dikerjakan
dalam klinik, terlebih-lebih dengan menggunakan cadaver donor, karena :
1. Kebutuhan organ dengan mudah dapat dicukupi, karena donor tidak sulit
dicari.
2. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat, terutama dalam
bidang immunologi, maka reaksi penolakan dapat ditekan seminimal mungkin.
Pada hetero transplantasi hampir selalu meyebabkan timbulnya reaksi
penolakan yang sangat hebat dan sukar sekali diatasi. Maka itu, penggunaanya
masih terbatas pada binatang percobaan. Tetapi pernah diberitakan adanya
percobaan mentransplantasikan kulit babi yang sudah di iyophilisasi untuk
menutup luka bakar yang sangat luas pada manusia.
Sekarang hampir semua organ telah dapat ditransplantasikan, sekalipun
sebagian masih dalam taraf menggunakan binatang percobaan, kecuali otak, karena
memang tehnisnya amat sulit. Namun demikian pernah diberitakan bahwa di Rusia
sudah pernah dilakukan percobaan mentransplantasikan kepala pada binatang
dengan hasil baik.
B. HUKUM TRANSPLANTASI
1. Hukum Mendonorkan Organ Tubuh Dari Manusia Yang
Masih Hidup
a. Pendapat pertama,
Hukumnya tidak boleh (Haram). Meskipun
pendonoran tersebut untuk keperluan medis (pengobatan) bahkan sekalipun telah
sampai dalam kondisi darurat. Mendonorkan organ tunggal yang
dapat mengakibatkan kematian si pendonor, seperti mendonorkan jantung, hati dan
otaknya. Maka hukumnya tidak diperbolehkan,
Dalil pendapat pertama : Firman Allah swt dalam Surat
An Nisa’, yang artinya : ”Dan janganlah
kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu”. (QS. An Nisa’ : 4 : 29)
Allah SWT,
juga berfirman dalam Surat Al Baqarah : Artinya : ”Dan Jangan lah kamu jatuhkan dirimu dalam kebinasaan dan berbuat baiklah
sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al Baqarah : 2 : 195).
Maksudnya adalah bahwa Allah SWT, melarang manusia untuk membunuh dirinya atau melakukan perbuatan yang
membawa kepada kehancuran dan kebinasaan. Sedangkan orang yang mendonorkan salah satu organ tubuhnya secara tidak
langsung telah melakukan perbuatan yang membawa kepada kehancuran dan
kebinasaan. Padahal manusia tidak disuruh berbuat demikian, manusia hanya
disuruh untuk menjaganya (organ tubuhnya) sesuai ayat di atas. Sesungguhnya
perbuatan mengambil salah satu organ tubuh manusia dapat membawa kepada
kemudlaratan, sedangkan perbuatan yang membawa kepada kemudlaratan merupakan
perbuatan yang terlarang. Manusia tidak memiliki hak
atas organ tubuhnya seluruhnya, karena pemilik organ tubuh manusia Adalah Allah
SWT.
b. Pendapat kedua,
Hukumnya ja’iz (boleh) namun memiliki syarat-syarat tertentu yaitu: Adanya
kerelaan dari si pendonor. Keinginan untuk mendonorkan organ tubuhnya memang
muncul dari keinginannya, tanpa ada paksaan. Serta kondisi si pendonor harus
sudah baligh dan berakal. Organ yang didonorkan bukanlah organ vital yang
menentukan kelangsungan hidup seperti Jantung, hati,paru-paru dan lain-lain.
Hal ini dikarenakan penyumbangan organ-organ vital tersebut dapat menyebabkan
kematian bagi si pendonor. Sedangkan sesuatu yang membawa kepada kehancuran
atau kematian diri sendiri dilarang oleh agama.
Pengobatan dengan transplantasi merupakan jalan terakhir yang memungkinkan
untuk mengobati orang yang menderita penyakit tersebut. Kemungkinan untuk
keberhasilan proses transplantasi lebih besar, artinya secara kebiasaan proses
memotong organ sampai dengan proses meletakkannnya pada si penderita penyakit
memiliki kemungkinan keberhasilan yang tinggi. Maka tidak boleh melakukan
transplantasi oleh yang belum berpengalaman dan dengan cara eksperimen. Si
pendonor tidak boleh menuntut ganti secara finansial kepada si resipien ( yang
menerima organ),karena proses pendonoran adalah proses saling tolong-menolong antara manusia, bukan proses jual-beli organ yang hukumnya haram
dalam islam.
Dalil pendapat kedua : Setiap insan,meskipun bukan pemilik tubuhnya secara
pribadi,namun memiliki kehendak atas apa saja yang bersangkutan dengan
tubuhnya,ditambah lagi bahwa Allah telah memberikan kepada manusia hak untuk
mengambil manfa’at dari tubuhnya, selama tidak membawa kepada kehancuran, kebinasaan
dan kematian dirinya (Qs.An-Nisa’ 29 dan al-Baqarah 95). oleh karena itu, jika
pendonoran organ tubuhnya, atau kulitnya, atau darahnya tidak membawa kepada
kematian dirinya serta tidak membawa kepada kehancuran dirinya, ditambah lagi
pada waktu bersamaan pendonoran organnya dapat menyelamatkan manusia lainnya
dari kekhawatiran akan kematian, maka sesungguhnya perbuatan donor organ
tubuhnya merupakan perbuatan yang mulia.
Sesungguhnya memindahkan organ tubuh ketika darurat merupakan pekerjaan
yang mubah ( boleh ) dengan dalil firman Allah SWT, yang
artinya : ”Sesungguhnya Allah telah menjelaskan perbuatan-perbuatan yang
haram bagi mu kecuali ketika kamu dalam keadaan terpaksa (darurat).” (QS.
Al An’am : 119)
2. Hukum Transplantasi Dalam Keadaan Koma
Melakukan transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan masih hidup,
meskipun dalam keadaan koma hukumnya tetap haram walaupun menurut medis bahwa
si pendonor akan segera meninggal, karena hal itu dapat mempercepat kematian
dan mendahului kehendak Allah. Hal tersebut dikatakan euthanasia atau
memprcepat kematian.
Tidak boleh menurut Islam dengan alasan sebagai berikut:
a. Hadits Nabi yang artinya : ”Tidak boleh membuat madhorat pada diri sendiri dan tidah boleh pula membuat
madhorot pada orang lain” berdasarkan hadits tersebut,
mengambil organ tubuh orang dalam keadaan sekarat/ koma haram hukumnya karena
dapat mempercepat kematiannya.
b. Manusia wajib berusaha menyembuhkan penyakitnya demi mempertahankan
hidupnya, karena hidup dan mati da di tangan Allah.
3. Hukum Mendonorkan organ tubuh dari manusia yang
sudah meninggal.
Secara medis seseorang dikatakan mati ketika batang otak tidak
berfungsi. Saat itu, bagian tubuh yang lain, khususnya jantung, bisa jadi masih
berdenyut. “Namun, lambat laun akan ikut mati secara bertahap,” tuturnya. Nah,
sebelum semua organ itu mati, proses transplantasi bisa dilakukan. Pada saat
itulah, dokter berkesempatan untuk mengambil organ tubuh yang akan didonorkan.
Sebab, organ masih bisa disambungkan ke bagian tubuh penerima donor. Waktunya
sekitar 30 menit.
Definisi mati, menurut KUHP kematian seseorang dilihat dari detak
jantungnya. Ketika jantung berhenti berdenyut, seseorang dinyatakan telah mati.
a. Pendapat pertama,
Pendapat
pertama mengatakan hukumnya haram. Dalil pendapat pertama
: Kesucian tubuh manusia setiap
bentuk agresi atas tubuh manusia merupakan hal yang terlarang, karena ada
beberapa perintah Al-Qur’an dan Hadist Yang melarang. Diantara hadist yang
terkenal Diriwayatkan dari A’isyah Ummul
Mu’minin RA bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya : ”Memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang orang hidup.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban).
Tubuh manusia adalah amanah; Hidup,diri,dan tubuh manusia pada
dasarnya bukanlah milik manusia tapi merupakan amanah dari Allah yang harus
dijaga,karena itu manusia tidak memiliki hak untuk mendonorkan nya kepada orang
lain . Tubuh manusia tidak boleh
diperlakukan sebagai benda material semata; transplantasi dilakukan dengan
memotong organ tubuh seseorang untuk diletakkan (dicangkokkan) pada tubuh orang
lain,padahal tubuh manusia bukanlah benda material semata yang dapat dipotong
dan dipindah-pindahkan
b. Pendapat kedua,
Pendapat
kedua menyatakan hukumnya boleh atau mubah. Transplantasi merupakan salah satu jenis pengobatan, sedangkan pengobatan
merupakan hal yang disuruh dan disyari’atkan dalam islam. Terdapat dua hal yang
mudlarat dalam masalah ini yaitu antar memotong bagian tubuh yang suci dan
dijaga dan antara menyelamatkan kehidupan yang membutuhkan kepada organ tubuh
mayat tersebut. Namun kemudlaratan yang terbesar adalah kemudlaratan untuk
menyelamatkan kehidupan manusia. Maka dipilihlah sesuatu yang kemudlaratannya
terbesar untuk dihilangkan yaitu memotong organ mayat untuk menyelamatkan
kehidupan manusia. Qiyas atas maslahat membuka perut mayat wanita yang hamil
yang lewat 6 bulan yang disangka kuat hidup anaknya. Qiyas atas boleh membuka
perut mayat jika di dalam perutnya terdapat harta orang lain. Terdapat dua Hal
kemaslahatan yaitu antara maslahah menjaga kesucian mayat dan antara maslahah
menyelamatkan nyawa manusia yang sakit dengan transplantasi organ mayat
tersebut.
Meskipun pekerjaan tranplantasi pada dasarnya haram walau pada orang yang
telah meninggal, demi kemaslahatan membantu orang yang sangat membutuhkan. Namun
pendapat yang membolehkan transplantasi organ mayat ini memiliki syarat-syarat
yaitu : Ada persetujuan/izin dari pemilik organ asli (atau wasiat ) atau dari
ahli warisnya (sesuai tingkatan ahli waris) ,tanpa paksaan ,Si resipien ( yang
menerima donor ) telah mengetahui persis segala implikasi pencangkokan . Pencangkokan dilakukan oleh yang ahli dalam ilmu pencangkokan tersebut
Tidak boleh menuntut ganti pendonoran organ dengan harta (uang dan sebagainya)
Organ tidak diperoleh melalui proses transaksi jual beli karena tidak sah
menjual belikan organ tubuh manusia. Seseorang muslim hanya boleh menerima
organ dari muslim lainnya kecuali dalam keadaan mendesak (tidak ada muslim yang
cocok organnya atau tidak bersedia di dinorkan dengan beberapa alasan). Allah
berfirman, yang artinya : ”Dan barang siapa memelihara
kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia
semuanya” (QS. Al Maidah : 32)
Sementara hasil keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama sebagaimana termaktub
dalam ahkamul fuqaha mengatakan bahwa pecangkokan organ tubuh manusia ada yang
membolehkan dengan syarat : Karena diperlukan, dengan ketentuan tertib
pengamanan dan tidak ditemukan selain organ tubuh manusia itu.
4. Hukum Transplantasi Non-Muslim
Mencangkok (transplantasi) organ dari tubuh seorang non-muslim kepada tubuh seorang muslim pada dasarnya tidak terlarang. Mengapa?
Karena organ tubuh manusia tidak diidentifikasi sebagai Islam atau kafir, ia
hanya merupakan alat bagi manusia yang dipergunakannya sesuai dengan akidah dan
pandangan hidupnya. Apabila
suatu organ tubuh dipindahkan dari orang kafir kepada orang Muslim, maka ia
menjadi bagian dari wujud si muslim itu dan menjadi alat baginya untuk
menjalankan misi hidupnya, sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT.
Hal ini sama dengan orang muslim yang mengambil senjata orang kafir. Dan
mempergunakannya untuk berperang fi sabilillah. Bahkan sesungguhnya semua organ
di dalam tubuh seorang kafir itu adalah pada hakikatnya muslim (tunduk dan
menyerah kepada Allah). Karena organ tubuh itu adalah makhluk Allah, di mana
benda-benda itu bertasbih dan bersujud kepada Allah SWT, hanya saja kita tidak
mengerti cara mereka bertasbih. Kekafiran
atau keIslaman seseorang tidak berpengaruh terhadap organ tubuhnya, termasuk
terhadap hatinya (organnya) sendiri. Memang AL-Quran sering menyebut istilah
hati yang sering diklasifikasikan sehat dan sakit, iman dan ragu, mati dan
hidup.
Namun sebenarnya yang dimaksud di sini bukanlah organ tubuh yang dapat diraba
(ditangkap dengan indra), bukan yang termasuk bidang garap dokter spesialis dan
ahli anatomi. Sebab yang demikian itu tidak berbeda antara yang beriman dan
yang kafir, serta antara yang taat dan yang bermaksiat. Tetapi yang dimaksud dengan hati orang kafir di dalam istilah
Al-Quran adalah makna ruhiyahnya, yang dengannya manusia merasa, berpikir, dan
memahami sesuatu, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al Hajj, yang artinya : ”Lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami “(QS. Al Hajj : 46)
Allah juga
berfirman dalam Surat Al A’raf ayat 179, yang artinya : ”Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah)”.
Lalu bagaimana dengan firman Allah SWT yang menyebutkan bahwa Orang musyrik
itu najis? Benar bahwa Allah SWT
telah menyebutkan bahwa orang musyrik itu najis, sebagaimana disebutkan di
dalam Al-Quran: ”Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis” (QS. At Taubah : 28)
Namun para ulama sepakat mengatakan bahwa ’najis’ dalam ayat tersebut bukanlah dimaksudkan untuk najis indrawi yang
berhubungan Dengan badan, melainkan najis maknawi yang berhubungan dengan hati
dan akal (pikiran). Karena itu tidak terdapat larangan bagi orang muslim untuk
memanfaatkan organ tubuh orang nonmuslim, apabila memang diperlukan.
5. Hukum Transplantasi Dengan Hewan Najis
Imam al-Nawawi (w. abad VI) dalam karyanya Minhaj al-Talibin mengatakan, : ”Jika seseorang menyambung tulangnya dengan barang yang najis karena tidak
ada barang yang suci maka hukumnya udhur (tidak apa-apa). Namun, apabila ada
barang yang suci kemudian disambung dengan barang yang najis maka wajib dibuka
jika tidak menimbulkan bahaya”.
Zakariya al Ansoari dalam karyanya Fathu al Wahhab Sharh Manhaj al Tullab,
kitab Manhaj al Tullab merupakan kitab ringkasan dari kitab Minhaj al Talibin
karya Imam al Nawawi. Zakariya al Ansoari mengatakan
:”Jika ada seseorang melakukan penyambungan tulangnya atas dasar butuh dengan
tulang yang najis dengan alasan tidak ada tulang lain yang cocok. Maka hal itu,
diperbolehkan dan sah sholatnya dengan tulang najis tersebut. Kecuali, jika
dalam penyambungan itu tidak ada unsur kebutuhan atau ada tulang lain yang suci
selain tulang manusia maka ia wajib membuka (mencabut) kembali tulang najis
tersebut walaupun sudah tertutup oleh daging. Dengan catatan, jika proses
pengambilan tulang najis tersebut aman (tidak membahayakan) dan tidak
menyebabkan kematian”.
Zakariya mengatakan bahwa tidak diperbolehkannya menyambung tulang dengan
tulang manusia, jika yang lain masih ada walaupun tulangnya hewan yang najis
seperti celeng dan anjing. Oleh karena itu, jika yang lain baik yang suci
maupun yang najis tidak ada, maka menyambung tulang dengan tulang manusia itu
hukumnya boleh. Dalam ‘ibarah (teks) di atas, Ibn Hajr senada dengan
al-Bujayrami, bahwa ia memperbolehkan transplantasi organ manusia dengan organ
manusia dalam keadaan jika sesuatu yang suci dan yang najis tidak ada. Jika
masih ditemukan/ada tulang yang najis maka tidak boleh memakai tulang manusia.
Kalangan Syafi’iyah berpendapat, menyambung tulang dengan benda najis, jika
memang tidak ditemukan benda yang lain. Menurut kalangan Hanafiyah, berobat
dengan haram, tidak dibolehkan.
Dari penjelasan di atas, maka dapat mengambil kesimpulan bahwa
transplantasi dalam hukum Islam terjadi pertentangan di antara kalangan ulama
apakah Boleh melakukan transplantasi atau tidak. Dalam hal ini masih terjadi
perbedaan pendapat antar ulama. Wallahu ’alam bissawab.
Mahajuddin.
2008. Masail Fiqhiyah Berbagau Kasus yang
Dihadapi Islam masa kini. Jakarta:
Kalam Mulia.
Nata,
Abuddin.2003. Masail Fiqhiyah.
Jakarta Timur : Prenada Media
Yasid, Abu.
2005. Fiqh Realitas Respon Ma’had Aly
Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta : Pustaka Media
Zuhdi, Masjfuk.
Masail Fiqhiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar