Kaum
Mu’tazilah adalah suatu kaum yang membikin heboh dunia Islam selama 300 tahun
pada abad-abad permulaan Islam. Kaum Mu’tazilah pernah dalam sejarahnya
membunuh ribuan ulama Islam yang terkenal Syeikh Buwaithi, imam pengganti imam
Syafi’i, dalam satu peristiwa yang dinamai ”Peristiwa Qur’an Makhluk”.
Faham
Mu’tazilah telah tersebar dan berkuasa pada masa-masa khalifah Ma’mun bin Harun
Rasyid, Khalifah Al Mu’tashim bin Harun Rasyid dan Khalifah Al Watsiq bin Al
Mu’tashim sekitar abad-abad ketiga, keempat dan kelima Hijriyah.
Bahkan
sampai sekarang pemikiran faham Mu’tazilah ini masih menyusup ke dalam
masyarakat umat Islam di barat dan di timur dan bahkan sampai ke Indonesia.
A. LATAR BELAKANG LAHIRNYA MU’TAZILAH
Perkataan ”Mu’tazilah” berasal dari kata
”I’itizal”, artinya membersihkan diri. Kaum Mu’tazilah
berarti kaum yang membersihkan diri.
Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad kedua hijriyah di kota Bashrah (Irak),
pusat ilmu dan peradaban Islam pada masa itu, tempat peraduan aneka kebudayaan
asing dan pertemuan bermacam-macam agama.
Ada beberapa
pendapat yang berbeda dalam menerangkan sebab-sebab munculnya kaum Mu’tazilah ini, yaitu :
1. Ada seorang guru besar di Baghdad, namanya Syeikh Hasan Bashri
(meninggal tahun 110 H). Di antara
muridnya ada seorang yang bernama Wasil bin Atha’ (meninggal pada tahun 131 H).
Pada suatu hari Imam Hasan Bashri menerangkan bahwa orang Islam yang telah iman
kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi ia kebetulan mengerjakan dosa besar, maka
orang itu tetap muslim tetapi muslim durhaka. Di
akhirat nanti, kalau ia wafat sebelum taubat dari dosanya, ia dimasukkan ke
dalam neraka buat sementara untuk menerima hukuman atas perbuatan dosanya,
tetapi sudah menjalankan hukuman ia dikeluarkan dari dalam neraka dan
dimasukkan ke dalam surga sebagai seorang mukmin dan muslim.
Wasil bin Atha’ tidak sesuai dengan pendapat gurunya
itu, lantas ia membentak, lalu keluar dari majelis gurunya dan kemudian
mengadakan majelis lain di suatu pojok dari Masjid Basrah itu.
Oleh karena ini, maka Wasil bin Atha’ dinamai kaum Mu’tazilah, karena ia mengasingkan diri dari gurunya.
Dalam mengasingkan diri ini ia diikuti oleh seorang
kawannya, namanya Umar bin ’Ubeid (meninggal 145 H).
Sejarah tak mencatat tanggal hari dan bulan perceraian,
tetapi kalau usianya Wasil bin Atha’ ketika itu 40 tahun, yaitu usia seorang
yang sudah bertanggung jawab, maka gerakan ini dimulai tahun 120 Hijriyah,
karena lahirnya Wasil bin Atha’ adalah pada tahun 80 Hijriyah.
Jadi dapat dikatakan secara bulat bahwa permulaan
munculnya faham Mu’tazilah pada permulaan abad ke II Hijriyah,
dengan guru besarnya Wasil bin Atha’ dan Umar bin ’Ubeid. Yang berkuasa ketika
itu Khalifah Hisyam
bin Abdul Muluk dari bani Umayyah, yaitu dari tahun
100-125 H.
2. Adapula
orang mengatakan bahwa sebabnya maka mereka dinamai Mu’tazilah
ialah karena mengasingkan diri dari masyarakat. Orang-orang Mu’tazilah ini pada
mulanya adalah orang-orang Syi’ah yang
patah hati akibat menyerahnya Khalifah Hasan bin Ali bin Abi Thalib kepada
Khalifah Mu’awiyah dari bani Umayyah.
Mereka memisahkan diri dari siasah (politik) dan hanya
mengadakan kegiatan dalam bidang ilmu pengetahuan. Demikian dikatakan oleh
Abdul Hasan Tharaifi, pengarang buku ”Ahlul Hawa wal Bida”, yang di kutip oleh
Muhammad Abu Zaharah dalam bukunya yang bernama ”As Syafi’i”, pagina 117.
Kalau ucapan Tharaifi benar, maka tanggal permulaan
gerakan Mu’tazilah ini adalah sekitar tahun 40
Hijriyah, karena penyerahan pemerintahan Sayyidina Hasan
kepada Mu’awiyah adalah pada tahun 40 Hijriyah.
Baik Tharaifi maupun Muhammad Abu
Zaharah tidak menerangkan nama
orang-orang yang patah hati itu dan juga tidak menerangkan tahun-tahunnya.
Karena itu dalil Tharaifi ini tidak begitu kuat, apalagi
kalau di lihat kenyataan-kenyataannya, bahwa orang-orang Mu’tazilah dalam
prakteknya bukan patah hati tetapi banyak sekali mencapuri urusan-urusan
politik dan bahkan sampai mendominasi Khalifah Al Ma’mun, Khalifah Al Mu’tashim
dan Khalifah Al Watsiq dan bahkan diantara mereka ada yang duduk mendampingi
Kepala Negara sebagai penasehatnya.
3. Ada
penulis-penulis lain yang mengatakan bahwa kaum Mu’tazilah
itu adalah kaum yang mengasingkan diri dari keduniaan. Mereka memakai pakaian
yang jelek-jelek, memakai kain yang kasar-kasar, tidak mewah dan dalam hidupnya
sampai ke derajat meminta-minta (darawisy).
Keterangan ini pun sangat lemah, karena dalam
kenyataannya kemudian, banyak kaum Mu’tazilah yang
gagah-gagah, pakai rumah mewah-mewah, pakai kendaraan mewah-mewah, sesuai
dengan kedudukan mereka di samping khalifah-khalifah.
4. Pengarang
buku ”Fajarul Islam” Ahmad
Amin, tidak begitu menerima
semuanya itu, persoalan kaum Mu’tazilah bukan
sekedar menyisihkan diri dari majelis guru, bukan sekedar menyisihkan diri dari
masyarakat atau sekedar tidak suka memakai pakaian mewah, tetapi lebih mendalam
dari itu. Mereka menyisihkan fahamnya dan I’itiqadnya
dari faham dan I’itiqadnya umat Islam yang banyak.
Pendapat ini dikuatkan oleh pengarang kitab ”Al Farqu
Binal Firaq”, yang mengatakan bahwa Syeikh Hasan
Basri mengatakan ketika kedua
orang itu menyisihkan diri bahwa mereka telah menjauhkan diri dari pendapat
umum.
Pendapat ini memang dekat dengan kebenaran, karena dari
dulu sampai sekarang fatwa-fatwa kaum Mu’tazilah
banyak yang ganjil, banyak yang di luar dari faham nabi Muhammad SAW, dan
sahabat-sahabat beliau. Jadi mereka benar-benar Mu’tazilah,
(tergelincir) dalam arti kata yang sebenarnya.
Demikian tentang keterangan nama.
B. POKOK-POKOK
AJARAN KAUM MU’TAZILAH
Pokok ajaran kaum Mu’tazilah
berkisar pada 5 (lima)
soal, yaitu :
1. Tauhid (ke
Esaan Tuhan).
2. Al ’Adl (keadilan Tuhan).
3. Al Wa’du
Wal Wa’id (janji baik dan janji buruk).
4. Manzilah Bainal Manzilatein (tempat diantara dua tempat).
5. Amar Ma’ruf
dan Nahi Mungkar.
Tauhid kaum Mu’tazilah
tidak mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, tetapi Tuhan adalah dzat yang tunggal
tanpa sifat.
Tuhan mendengar dengan dzat-Nya,
Tuhan melihat dengan dzat-Nya, Tuhan berkata dengan dzat-Nya. Sifat Tuhan
tidak ada, kata kaum Mu’tazilah.
Karena itu mereka memfatwakan dan
bahkan pernah memaksa orang supaya meyakini bahwa Al
Qur’an itu makhluk, bahwa Al
Qur’an itu Hadist, bukan kata Allah SWT, yang qadim
sebagai I’itiqad kaum Ahlussunnah Wal
Jama’ah.
Fatwa ini telah menghebohkan dunia
Islam dan membunuh beribu-ribu ulama Islam pada abad ke II hijriyah dalam
peristiwa yang dinamai ”Peristiwa Qur’an Makhluk”.
Pokok kedua ialah keadilan.
Tuhan itu adil, kata mereka.
Manusia di hukum oleh Tuhan karena
ia mengerjakan dosa dan di beri pahala oleh-Nya kalau ia membuat amal ibadah
yang baik.
Oleh karena itu – kata kaum Mu’tazilah, sekalian perbuatan manusia di atas dunia ini di
buat dan diciptakan oleh manusia sendiri, biar perbuatan baik atau perbuatan
buruk. Semua pekerjaan manusia tidak ada sangkut pautnya dengan Tuhan dan
bahkan Tuhan tidak tahu apa yang dikerjakan oleh manusia.
Pokok ketiga tentang janji baik dan
janji buruk.
Tuhan telah berjanji – kata kaum Mu’tazilah, bahwa siapa yang durhaka akan dihukum-Nya dan
siapa yang mengerjakan pekerjaan baik akan diberi-Nya upah. Oleh karena itu,
sekalian orang yang berbuat dosa tidak akan diampuni-Nya lagi kalau ia wafat
sebelum taubat dan akan terus masuk neraka tak keluar lagi. Ini sesuai dengan
janji-Nya.
Akan tetapi, kalau orang mukmin
berbuat dosa maka ia di hukum dalam neraka di suatu tempat, lain dari tempatnya
orang kafir. Nerakanya agak dingin, mereka tinggal diantara dua tempat, yakni
antara surga dan neraka. Inilah pokok keempat dari pengajian Mu’tazilah,
yaitu ”tempat diantara dua tempat”.
Adapun ”amar ma’ruf” dan ”nahi
mungkar” adalah wajib bagi setiap orang Islam, sama dengan kepercayaan kaum
Ahlussunnah Wal Jama’ah, akan tetapi yang ma’ruf bagi kaum Mu’tazilah ialah
hanya pendapat mereka, bukan ma’ruf yang sesuai dengan Al Qur’an dan Hadist.
Berdasarkan pangkal yang lima ini banyaklah
fatwa-fatwa kaum Mu’tazilah yang bertentangan dengan
fatwa dunia Islam. Di dalam,
kitab-kitab Usuluddin terdapat banyak sekali perkataan ”Khilafan Lil
Mu’tazilah” yang artinya ”berbeda
dengan faham Mu’tazilah”.
Oleh karena itu, kemudian umat Islam
telah sepakat menetapkan bahwa faham dan I’itiqad kaum
Mu’tazilah adalah salah, tidak sesuai dengan i’tiqad
Nabi Muhammad SAW, dan sahabat-sahabatnya, tidak sesuai dengan Al Qur’an
dan Hadist.
Imam mereka
yang dinamai ”Qadli Qudlat”
(Qadli dari sekalian Qadli) bernama Abdul
Jabbar bin Ahmad
(wafat : 415 H), mengarang sebuah buku bernama ”Syarah Usulil
Khamsah” (Penjelasan tentang pokok
yang lima) tebal 804 halaman, dimana diterangkan
panjang lebar pokok-pokok keimanan kaum Mu’tazilah
yang lima.
C. KONSEP
PEMIKIRAN KALAM ALIRAN MU’TAZILAH
1. Ketauhidan
Mu’tazilah menafikan dan meniadakan Allah Ta’ala itu bersifat dengan
sifat-sifat yang azali dari ilmu, qudrat, hayat dan sebagainya sebagai
dzat-Nya.
Perkataan yang mengatakan bahwa
Allah itu mempunyai sifat-sifat yang qadim, akan menunjukkan bahwa Allah itu
berbilang. Padahal Allah Maha Esa, Tiada yang menyekutuinya satupun juga. Dan tidaklah sekali-kali dzat-Nya itu banyak atau
berbilang. Allah tidak seperti sesuatu apapun, Allah tidak berjisim, tidak
bersifat, tidak berunsur, dan tidak juga berjauhan.
Mu’tazilah mentakwilkan segala ayat-ayat yang mengandung pengertian tentang
Allah itu bersifat, sifat-sifat itu dapat membawa faham bahwa Allah itu sama
dengan makhluk-Nya. Karena
Alah tidak sama dengan makhluk-Nya
( المخالفة للحوادث
).
2. Dosa Besar
Orang Islam yang mengerjakan dosa
besar, yang sampai matinya belum taubat, orang tersebut dihukumi tidak kafir
dan tidak pula mukmin, tetapi diantara keduanya itu. Mereka itu dinamakan orang
”fasiq”. Berhaklah mereka masuk ke neraka karena kefasikannya dan kekal-lah
mereka di neraka itu. Karena menurut pendapat aliran Mu’tazilah,
orang yang demikian itu tidak kafir dan tidaklah mukmin, jadi ada suatu tempat
tersendiri diantara keduanya untuk mereka yang melakukan dosa besar.
3. Qadar
Mereka berpendapat : Bukanlah Allah
yang menjadikan segala perbuatan makhluk, tetapi makhluk itu sendirilah yang
menjadikan dan menggerakkan segala perbuatannya. Oleh karena itulah, mereka di beri
dosa dan pahala.
Aliran Mu’tazilah mempertahankan
adanya ”kemauan” dan ”kebebasan pilihan”, karena mereka hendak menyelamatkan
prinsip ”keadilan Tuhan”, yang tidak mungkin memberi pahala atau siksa kecuali
atas perbuatan-perbuatan yang keluar dari manusia itu sendiri, yang tahu akan
perbuatannya dan menghendakinya pula. Karena akal manusia bisa membedakan
antara kebaikan dan keburukan, maka artinya ia dapat mengadakan pilihan.
Aliran Mu’tazilah memberikan alasan-alasan tentang adanya kebebasan pilihan pada
manusia sebagai berikut :
a. Rasa
kebebasan
Manusia merasakan sendiri dalam
hatinya akan terjadi perbuatan menurut motif dan dorongannya. Kalau mau
bergerak bergeraklah dia, dan kalau mau diam, diamlah dia. Motif dan dorongan
menimbulkan ’azam (keputusan untuk berbuat), yang merupakan syarat utama bagi
perbuatan bebas, karena apa yang disebut ”kemauan” tidak lain hanya kecondongan
jiwa akan sesuatu perbuatan.
b. Adanya taklif
(perintah pembebanan)
Janji dan ancaman dipertalikan dengan
taklif, yaitu suatu tuntutan kepada manusia untuk memenuhinya. Taklif tidak
mungkin diadakan kecuali apabila seseorang mukallaf bebas dan sanggup
melaksanakannya. Taklif tidak akan ada artinya, baik yang datang dari Tuhan
maupun yang datang dari akal-pikiran, apabila kebebasan tidak ada.
4. Kedudukan Akal
Sepanjang sejarah tersebut bahwa
salah satu keistimewaan bagi kaum Mu’tazilah ialah cara mereka membentuk madzhabnya, banyak
mempergunakan akal dan lebih mengutamakan akal, bukan mengutamakan Al Qur’an
dan Hadist.
Kalau di timbang akal dengan hadist
nabi Muhammad SAW, maka akal lebih berat bagi mereka. Mereka lebih memuji akal
mereka di banding dengan ayat-ayat suci dan hadist-hadist nabi.
Barang sesuatu ditimbangnya lebih
dahulu dengan akalnya, mana yang tidak sesuai dengan akalnya di buang, walaupun
ada Hadist atau ayat Al
Qur’an yang bertalian dengan
masalah itu tetapi berlawanan dengan akalnya.
Semua itu dapat di lihat dari
ciri-ciri kaum Mu’tazilah yang suka berdebat, terutama di hadapan umum, barang
siapa yang berlainan pendapatnya dengan mereka lantas di ajak berdebat, di ajak
bertanding di hadapan umum, karena mereka sangat yakin dengan kekuatan akal
mereka, padahal pemikiran mereka ini ternyata banyak dipengaruhi oleh
unsur-unsur luar, antara lain dari kalangan orang-orang yahudi dan juga pemikiran
filsafat Plato dan Aristoteles di dalam filsafat Yunani.
Sebagai contoh,
tentang Mi’raj nabi Muhammad
SAW, kaum Mu’tazilah tidak menerima adanya Mi’raj walaupun ada ayat Al Qur’an
atau Hadist nabi yang shahih menyatakan hal itu, karena hal itu – katanya –
bertentangan dengan akal.
Kaum Mu’tazilah menolak
adanya bangkit dari kubur dan siksa kubur. Hal itu – katanya – bertentangan
dengan akal, karena mustahil orang yang sudah mati dan terbaring dalam tanah
yang sesempit itu dibangunkan dan di suruh duduk, walaupun ada hadist shahih
yang menyatakan hal ini.
Oleh karena itu,
kaum Mu’tazilah dalam kitab-kitab tafsirannya
mencoba menafsirkan Al
Qur’an dengan akal dan memutar
ayat-ayat suci itu dengan akalnya. Bahkan kaum Mu’tazilah
berpendirian dengan pernyataan mereka bahwa Al Qur’an
itu makhluk adalah berkaitan dengan pendiriannya bahwa Allah SWT, itu tidak
bersifat.
Hal tersebut di tentang
oleh kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah terutama oleh Syeikh Imam Buwaithi,
yang pada akhirnya di bunuh oleh kaum Mu’tazilah di
dalam peristiwa yang di beri nama ”Peristiwa Qur’an Makhluk”.
Nasir, Sahilun A,. 1996. Pengantar Ilmu Kalam.
Edisi Pertama. Cetakan Ketiga.
PT Raja Grafindo. Jakarta.
Abbar, Siradjuddin. 1980. I’tiqad
Ahlussunnah Wal Jama’ah. Pustaka Tarbiyah.
Jakarta.
Hanafi A,. 1980. Pengantar Theology Islam. Pustaka Al
Husna. Jakarta.
Mu’in, M.
Taib Thahir
Abdul. 1964. Ilmu Kalam. Widjaya. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar