A. BIOGRAFI IMAM SYAFI’I
Nama lengkap beliau adalah
Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i. Beliau lahir di kota Gazza
(Palestina) pada tahun 150 Hijriyah. Konon ada yang mengatakan lahirnya Imam
Syafi’i bersamaan dengan wafatnya 2 (dua) orang ulama besar, yaitu Imam Abu
Hanifah dan Imam Abu Juraij. Pada waktu berumur 2 tahun Syafi’i kecil dibawa
pulang ke kampung halamannya di Makkah oleh ibu kandungnya. Sementara ketika
baru berumur 9 tahun, dia sudah hafal seluruh isi bacaan Al Qur’an dan kitab
hadist. Demikianlah anak yatim ini menghabiskan waktunya dengan mempelajari
berbagai ilmu agama.
Memasuki umur 20 tahun, Imam
Syafi’i hijrah ke Madinnah. Perjalanan panjang ini beliau tempuh dengan naik
unta. Selama 8 hari perjalanan beliau telah mengkhatamkan bacaan Al Qur’an
sebanyak 16 kali. Di tempat ini beliau berguru kepada Imam Malik selama kurang
lebih 2 tahun. Dua tahun sesudahnya beliau hijrah ke Kuffah. Di sini beliau
mempelajari hadist, fiqh, tafsir dan ethnology (ilmu pengetahuan tetang kehidupan
bangsa-bangsa). Dari Kuffah beliau melanjutkan perjalanan ke Baghdad dan
beberapa kota besar di Irak.
Setelah kurang lebih 2 tahun
rihlah (suatu perjalanan ke sesuatu tujuan dengan tujuan tertentu)
ilmiah ke Baghdad, Kuffah, Persi dan Palestina, beliau kemudian kembali lagi ke
Madinah untuk belajar kepada Imam Malik. Kepulangan Imam Syafi’i membuat sang
guru kagum terhadap perkembangan ilmunya yang begitu pesat. Bahkan Imam Malik
menginginkan agar Imam Syafi’i dapat berfatwa sendiri. Beliau menetap di Madinah
sampai Imam Malik Wafat pada tahun 179 Hijriyah.
Atas permintaan Gubernur
Yaman, beliau bersedia pindah ke kota tersebut. Di kota baru ini beliau
diangkat menjadi khatib daulah (sekretaris negara). Tragisnya, di
institusi pemerintahan ini beliau mendapat fitnah sehingga dibelenggu dan
diseret ke pengadilan. Beliau dihadapkan kepada Khalifah Harun Al Rasyid di
Baghdad dengan tuduhan melakukan upaya makar (menentang) Pemerintah. Namun,
setelah jelas masalahnya akhirnya beliau dilepaskan juga. Kepergian beliau
memenuhi panggilan negara ini disebut hijrah Imam Syafi’i yang kedua.
Setelah selama 17 tahun
malang melintang di negara lain, beliau akhirnya pulang ke Makkah. Disini
beliau membangun sebuah bilik kecil di luar kota. Masyarakat menganggap Imam
Syafi’i sebagai ulama besar yang menjadi panutan dan terpercaya fatwanya.
Setelah Harun Al Rasyid
wafat dan diganti putranya yang bernama Al Amin, Imam Syafi’i berpindah ke
Baghdad lagi, yang terkenal sebagai hijrah Imam Syafi’i ke Baghdad yang ketiga.
Dari Irak beliau hijrah lagi ke Mesir untuk mengembangkan ilmu pengetahuannya.
Setelah 6 tahun bermukim di Mesir, Imam Syafi’i dipanggil oleh Allah SWT, pada
bulan Rajab 204 H.
B. GURU-GURU IMAM SYAFI’I
Sesuai dengan jiwa dan
kesukaan Imam Syafi’i melakukan pengembaraa ilmiah ke berbagai negara, terdapat
beberapa ulama yang menjadi gurunya. Dalam hal ini, penulis mengkategorikan
dalam bentuk wilayah :
1. Di
Makkah :
a. Muslim
bin Khalid Az Zanji
b. Ismail
bin Qusthanthin
c. Daud
bin Abdurrahman Al Aththar
d. Sofyan
bin Uyainah
e. Sa’ad
bin Abi Salim
2. Di
Madinah :
a. Imam
Malik
b. Ibrahim
bin Sa’ad Al Anshori
c. Abdullah
bin Nafi’
d. Ibrahim
bin Yahya
e. Muhammad
bin Sa’id
3. Di
Yaman :
a. Matraf
bin Mazin
b. Hisyam
bin Abu Yusuf
c. Umar
bin Abi Salamah
d. Yahya
bin Hasan
4. Di
Irak :
a. Waqi’
bin Jarrah
b. Abu
Yusuf
c. Abdul
Wahab bin Abdul Majid
d. Muhammad
bin Hasan
C. QAUL QADIM DAN QAUL JADID
1. Qaul
Qadim, Seperti
diterangkan di atas, Imam Syafi’i memang sering mengadakan pengembaraan ilmiah.
Dalam hijrahnya ke Irak yang ketiga, beliau membangun madzhab yang pertama,
terkenal dengan al Qaulul Qadim. Hal ini beliau lakukan setelah berusia
48 tahun, tepatnya 198 Hijriyah. Titik tolak madzhab ini bermula dari sebuah
buku karangannya yang berjudul al Risalah. Buku ini memuat dasar-dasar
pemahaman Al Qur’an dan Sunnah yang selanjutnya dikenal sebagai buku ushul fiqh
pertama. Dari kitab ini, beliau mendapat gelar sebagai perintis ilmu ushul
fiqh.
2. Qaul
Jadid adalah fatwa-fatwa Imam Syafi’i pada
waktu menetap di Mesir. Kitab yang dihasilkan di kota Mesir ini meliputi :
a. Ahkamul
Qur’an
b. Ikhtilaful
Hadist
c. Al
umm
d. Al
Musnad
e. Al
Qiyas, dan beberapa kitab lainnya.
Jumlah
karangannya, menurut catatan Imam Abu Muhammad, berjumlah 113 judul, mencakup
masalah ushul fiqh, fiqh, dan adab (sastra).
D. ULAMA-ULAMA MADZHAB SYAFI’I
Untuk mencatat ulama-ulama
madzhab Syafi’i sebetulnya memerlukan beberapa puluh halaman website. Hal ini
sesuai dengan kebesaran Imam Syafi’i. Namun, di bawah ini hanya kami sebutkan
beberapa ulama saja, yaitu :
1. Ar
Rabi’i bin Sulaiman al Muradi, Beliau adalah murid setia Imam Syafi’i,
mengikuti Imam Syafi’i dari Baghdad sampai ke Mesir dan membantu menulis kitab
ar Risalah dan kitab al Umm.
2. Abu
Ya’qub al Buwaithi, selama berpuluh-puluh tahun menggantikan kedudukan Imam
Syafi’i di Mesir.
3. Abu
Ibrahim al Muzani, ulama besar yang lahir di Mesir ini dikenal sebagai
pengarang beberapa kitab, antara lain al Jami’ul Kabir, al Jami’us Shaghir, al
Mukhtashar.
4. Hasan
bin Muhammad az Za’faroni, ulama kelahiran Baghdad ini murid langsung Imam
Syafi’i. Beliau seorang penegak madzhab Syafi’i setelah bermadzhab Hanafi.
5. Abu
Ali al Karabisyi, ulama besar ini belajar langsung kepada Imam Syafi’i. Beliau dikenal
sebagai ahli hadist. Kepadanya para ahli hadist sering merujuknya, misalnya
Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Ibnu Hanbal.
6. Ishaq
bin Rahawaih, ulama besar ini belajar langsung kepada Imam Syafi’i. Beliau dikenal
sebagai ahli hadist. Kepadanya para ahli hadist sering merujuknya, misalnya
Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Ibnu Hanbal.
7. Abdullah
bin Zubair al Humaid, beliau murid langsung Imam Syafi’i yang pernah menjadi
mufti madzhab Syafi’i di Makkah.
8. Ahmad
bin Sajjar al Marwazi, murid dari Ishaq bin Rahawaih. Ulama besar ini
mengembangkan madzhab Syafi’i sampai ke India dan Afghanistan.
9. Imam
Turmudzi, beliau termasuk ulama ahli hadist. Juga di kenal sebagai perawi.
10. Imam
al Bukhari.
11. Abu
Hatim ar Razi
12. Al
Junaidi al Baghdadi, seorang ahli tasawuf yang terkenal. Sejak berusia 20 tahun
sudah menjadi mufti madzhab Syafi’i.
13. Imam
Abu Dawud.
14. Imam
ad Darimi.
Adapun ulama-ulama besar lain
yang mengikuti madzhab Syafi’i pada abad-abad sesudahnya, antara lain :
1. An
Nasa’i atau Imam Nasa’i.
2. Imam
at Thabari
3. Imam
an Naisaburi
4. Imam
al Marwazi
5. Imam
al Qaffar
6. Imam
as Sajastani
7. Imam
Abu Hasan al Asy’ari (perintis Ahlu Sunnah wal Jama’ah)
8. Imam
al Jurjani
9. Imam
Daruquthni
10. Imam
al Baihaqi, ahli hadist
11. Imam
ats Tsa’labi
12. Imam
al Mawardi
13. Imam
al Haramain
14. Imam
al Ghazali
15. Imam
al Baghawi
16. Imam
ar Rifa’i
17. Imam
an Nawawi
18. Imam
Ibnu Daqieqil ’Ied
19. Imam
as Subki
20. Imam
az Zarkasyi
21. Ibnu
Hajar al Asqalani
22. Imam
as Suyuti, pengarang tafsir Jalalain, dll.
E. ULAMA BERMADZHAB SYAFI’I DI PULAU JAWA
Ulama-ulama di pulau jawa
pada umumnya bermadzhab Syafi’i, meskipun ada juga yang bermadzhab lain. Mereka
itu, diantaranya adalah :
1. KH.
Shalih bin Umar, Ndarat Semarang (wafat, 1231 H)
2. KH.
Mahfudz Termas (wafat, 1338 H, di Makkah)
3. KH.
Dahlan, Semarang (wafat, 1329 H)
4. KH.
Khalil, Bangkalan Madura (wafat, 1334 H)
5. KH.
Idris Jamsaren (wafat, 1341 H)
6. HB.
Ahmad bin Abdullah Alatas, Pekalongan (wafat, 1347 H)
7. KH.
Abdul Hamid, Jawa Tengah (wafat, 1348 H)
8. KH.
Dimyati, Tremas (wafat, 1353 H)
9. KH.
Khalil, Rembang (wafat, 1358 H)
10. KH.
Hasyim Asy’ari (wafat, 1366 H)
11. KH.
Ma’shum, Lasem (wafat, 1394 H)
12. KHR.
Asnawi Kudus (wafat, 1379 H)
13. KH.
Wahab Hasbullah (wafat, 1971 M)
14. KH.
Bisri Syansoeri (wafat, 1984 M)
F. SUMBER HUKUM DALAM MADZHAB SYAFI’I
Menurut madzhab Syafi’i
sumber hukum Islam ada 4 (empat), yaitu :
1. Al
Qur’an, semua firman Allah dalam Al Qur’an mutlak harus dipegang. Dengan demikian,
Al Qur’an menjadi sumber hukum pertama dan utama.
2. Sunnah
Nabi, sunnah nabi itu meliputi sabda nabi, perbuatan nabi, dan ketetapan nabi
mengenai sesuatu yang terjadi dihadapan beliau. Sunnah nabi berfungsi
menjelaskan terhadap segala sesuatu yang belum jelas perinciaannya dalam Al Qur’an.
Disamping itu, sunnah nabi bisa juga berdiri sendiri sebagai sumber hukum,
yaitu apabila belum disebut dalam Al Qur’an.
3. Ijma’,
yaitu kesepakatan para ulama mengenai suatu perkara baru yang terjadi setelah
nabi wafat. Hal ini bisa dibedakan menjadi :
a. Ijma
Sahabi, yaitu kesepakatan para sahabat nabi mengenai sesuatu hal. Misalnya,
para sahabat sepakat melakukan shalat tarawih 20 rakaat. Sementara kita tidak
menemui keterangan yang jelas mengenai jumlah rakaat shalat tarawih nabi.
b. Ijma’
Sukuti, yaitu kesepakatan yang terjadi dengan cara para ulama diam terhadap
suatu masalah. Hal demikian dapat diartikan menyetujui. Mereka secara langsung
tidak menyatakan setuju tetapi juga tidak mengingkari.
4. Qiyas
ialah menyamakan hukum suatu perkara yang belum diketahui hukumnya dengan
perkara lain yang sudah diketahui hukumnya karena diantara keduanya ada
persamaan illah hukumnya.
Empat dasar hukum ini
disebut Imam Syafi’i sendiri dalam kitab ar Risalah halaman 39, yang bunyinya
sebagai berikut :
ليس لأحد أبدا أن يقول لشيء حل ولاحرم إلامن جهة
العلم ، وجهة العلم الخبر فى الكتاب والسنة والإجماع والقياس
Tidak boleh seorangpun mengatakan ini haram
atau itu halal, kecuali berdasar ilmu. Dan asal-usul ilmu itu adalah Al Qur’an,
Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
G. PETUNJUK PRAKTIS MENGIKUTI IMAM SYAFI’I
Pada dasarnya amat sulit bagi seorang muslim yang masih awam menunaikan
tugas-tugas agama. Dia harus menggali hokum sendiri dari Al Qur’an atau sunnah
nabi. Kalau bisa tentu amat bagus, tetapi betapa sulitnya. Untuk itu perlulah
kiranya mencari tuntunan yang terpercaya untuk menjalankan syari’at Islam.
Untuk keperluan inilah di bawah ini penulis berikan runtutan praktis :
1. Untuk tingkatan
pertama
a. Safinatun Najah,
kitab ini memuat tuntunan ibadah wajib, semacam shalat, zakat, puasa dan
seterusnya. Tidak membahas Mu’amalah.
b. Taqrib, kitab ini
lebih luas daripada kitab Safinatun Najah. Pembahasan didalamnya mencakup
masalah-masalah ubudiyah, mu’amalah, jinayat dan seterusnya.
2. Untuk tingkatan kedua
a. Tahrir
b. Kifayatul Akhyar
3. Untuk tingkatan
ketiga
a. Fathul Mu’in, kitab
ini lebih luas daripada Tahrir dan Taqrib, tetapi agak sulit. Di dalam kitab
ini banyak ditampilkan permasalahan.
b. Minhajul Qawim,
kualitas kitab ini pertengahan antara kitab tahrir dan fathul Mu’in. Bahasanya
mudah, hanya tidak seluas kitab Fathul Mu’in. untuk mempelajari dua kitab ini
diperlukan juga mempelajari syarahnya.
4. Untuk tingkatan
keempat
a. Fathul Wahab
b. Mughni Muhtaj
c. Al Minhaj lil Nawawi
d. An Nihayah – Imam Haramain
e. Tuhfah
f. Ubad lil Mazjad
g. Irsyad libni Mugri
h. Raudlah lil Nawawi
i.
Al Hawi lil Quzwaini
j.
Muharraa lil Rafi’i
k. Khulasah lil Ghazali
5. Untuk tingkatan
terakhir
a. Al Umm
b. Ar Risalah
c. Ahkamul Qur’an
d. Al Musnad
Sumber : KH. Ali Ma'shum. 1995. Ajakan Suci : Pokok-pokok Pikiran Tentang Nahdlatul Ulama', Pesantren dan Ulama'. Cetakan Kedua. Pustaka Pelajar : Djogjakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar