Di dalam melaksanakan ibadah puasa, ada beberapa hal
yang harus kita ketahui agar puasa kita diterima disisi Allah SWT dan dicatat
sebagai amal ibadah, diantaranya adalah :
1. Syarat Puasa
Ulama fikih membagi syarat puasa terbagi menjadi 2,
yakni syarat wajib dan syarat syah puasa. Akan tetapi, dalam penempatan mana
yang syarat wajib dan mana yang syarat syah terdapat perbedaan pendapat
dikalangan mereka.
a. Syarat Wajib Puasa
1) Muslim. Menurut jumhur Ulama,
keislaman seseorang termasuk syarat syah puasa. Berdasarkan syarat ini, maka
orang kafir tidak dikenai kewajiban puasa. Apabila orang kafir masuk Islam di
bulan Ramadhan, maka ia wajib berpuasa pada sisa hari pada bulan Ramadhan tersebut,
sedangkan hari-hari sebelumnya tidak perlu dikada. Hal ini didasarkan atas
firman Allah yang Artinya : ”Katakanlah kepada orang-orang kafir itu : Jika
mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka
tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi,
sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka ) sunnah (Allah terhadap) orang-orang
dahulu”. (QS. Al Anfaal : 38)
2) Baligh. Para Ulama sepakat hanya
baligh saja yang termasuk dalam syarat wajib puasa, sedangkan berakal termasuk
ke dalam syarat syah puasa. Akan tetapi, Ulama Madzhab Hanafi berpendapat bahwa
yang menjadi syarat kewajiban puasa bagi seseorang adalah baligh dan berakal.
Oleh sebab itu, anak kecil, orang gila, dan orang mabuk tidak diwajibkan
berpuasa, karena mereka belum layak dibebani hukum. Hal ini sejalan dengan
Hadist Nabi Muhammad dari Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab,
yang artinya : ”Tidak dibebani hukum tiga (kelompok orang), yaitu anak kecil sebelum baligh, orang gila sebelum sembuh, dan orang tidur sebelum mereka bangun”. (HR. Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan Daruqutni).
yang artinya : ”Tidak dibebani hukum tiga (kelompok orang), yaitu anak kecil sebelum baligh, orang gila sebelum sembuh, dan orang tidur sebelum mereka bangun”. (HR. Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan Daruqutni).
3) Memiliki kemampuan dan kesehatan
untuk melaksanakan puasa dan tidak sedang dalam perjalanan, karena orang yang
sedang dalam keadaan sakit, tidak mampu karena tua renta, diperbolehkan berbuka
puasa. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT yang Artinya : ”(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa
diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.
Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang
lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. (QS. Al Baqarah : 184).
Termasuk dalam kategori orang yang berat menjalankan puasa,
menurut Ulama fikih, adalah wanita hamil dan sedang menyusui anaknya.
Perjalanan yang membolehkan berbuka puasa itu adalah perjalanan yang jaraknya
sama dengan jarak dibolehkannya meringkas shalat.
b. Syarat Sah Puasa
1) Berakal.
2) Dimulai dengan niat.
3) Tidak dalam keadaan haid dan nifas.
4) Tidak ada yang merusak atau
membatalkan puasa. Hal ini merupakan syarat syah yang pakai oleh Ulama Madzhab
Hanafi.
Ulama fikih sepakat bahwa bersih dari junub tidaklah menjadi syarat syah
puasa, karena dalam sebuah hadist dari Aisyah binti Abu Bakar RA, dan Ummu
Salamah (keduanya istri Nabi Muhammad SAW) dinyatakan bahwa : ”Nabi Muhammad
SAW pernah berjunub di waktu subuh pada bulan Ramadhan, dan Beliau tetap
melanjutkan puasanya sampai terbenam matahari”. (HR. Al Bukhari dan Muslim)
2. Rukun Puasa
Ulama fikih sepakat bahwa rukun puasa hanya satu,
yaitu menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sadiq
(fajar yang benar) sampai terbenamnya matahari. Dalam Hadist Rasulullah SAW,
yang diriwayatkan Imam Abu Dawud dan Imam Ahmad bin Hanbal, ”Rasulullah SAW,
bersabda : Jangan tinggalkan sahur kalian apabila Bilal telah adzan dan juga
datang fajar yang memanjang (kazib)”. Azan Bilal bin Rabah di waktu fajar
adalah adzan ketika waktu subuh belum masuk, yaitu ketika fajar kazib
kelihatan dari ufuk timur. Hal ini menunjukkan bahwa batas permulaan menahan
diri adalah sejak terbit fajar sadiq.
Adapun alasan yang mendasari rukun puasa hanya satu,
yaitu menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar
sadiq (fajar yang benar) sampai terbenamnya matahari tersebut adalah firman
Allah yang artinya : ”Dihalalkan bagi kamu
pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah
pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu
dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa
yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu
beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka
janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada
manusia, supaya mereka bertakwa”. (QS. Al Baqarah : 187)
Ulama madzhab Maliki dan madzhab Syafi’i menambahkan
rukun lain yaitu niat. Landasan hukum ulama madzhab Maliki dan madzhab Syafi’i
menjadikan niat sebagai salah satu rukun puasa adalah sabda Rasulullah SAW,
yang Artinya : ”Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung kepada niat”.
(HR. Al Bukhori, Muslim dan Ahmad bin Hanbal)
3. Hal-hal yang membatalkan puasa
Terdapat perbedaan di kalangan Ulama fikih tentang
hal-hal yang membatalkan puasa serta akibat hukum yang ditimbul daripadanya.
Ada hal-hal yang membatalkan puasa yang hanya dibebani kewajiban mengkadanya, dan ada juga hal-hal yang
membatalkan puasa yang dibebani kewajiban kada dan kafarat.
a. Ulama Madzhab Hanafi
Ulama Madzhab Hanafi mengemukakan beberapa hal yang
membatalkan puasa dan dibebani kewajiban kada saja, sebagai berikut :
1) Mengkonsumsi sesuatu yang bukan bersifat makanan dan
bukan juga bersifat minuman.
2) Makan atau meminum obat karena ada uzur syar’i (uzur
yang dibenarkan oleh syari’at).
3) Menyalurkan nafsu seksual secara tidak sempurna.
Adapun hal-hal yang membatalkan puasa yang berakibat
kepada kewajiban mengkada dan sekaligus membayar kafarat, menurut Ulama Madzhab
Hanafi terdiri atas :
1) Mengkonsumsi makanan pokok tanpa ada uzur yang
dibolehkan syar’i.
2) Menyalurkan seksual secara sempurna melalui senggama
pada kemaluan wanita ataupun duburnya.
b. Ulama Madzhab Maliki
Ulama Madzhab Maliki mengemukakan beberapa hal yang
membatalkan puasa dan dibebani kewajiban kada saja, sebagai berikut :
1) Berbuka puasa wajib dengan sengaja selain puasa
Ramadhan, seperti puasa kafarat dan puasa nadzar.
2) Membatalkan puasa Ramadhan yang didalamnya tidak
terpenuhi syarat-syarat kafarat.
3) Membatalkan puasa sunnah dengan sengaja.
4) Muntah dengan sengaja.
5) Memasukkan benda cair ke dalam kerongkongan melalui
hidung, mulut, ataupun telinga.
Adapun hal-hal yang membatalkan puasa yang berakibat
kepada kewajiban mengkada dan sekaligus membayar kafarat, menurut Ulama Madzhab
Maliki terdiri atas :
1) Melakukan senggama di siang hari pada bulan
Ramadhan, sekalipun tidak mengeluarkan mani.
2) Mengeluarkan mani dan mazi dengan sengaja melalui
berciuman, berpelukan, bercumbu dengan lawan jenis.
3) Makan dan minum dengan sengaja.
c. Ulama Madzhab Syafi’i
Ulama Madzhab Syafi’i mengemukakan beberapa hal yang
membatalkan puasa dan dibebani kewajiban kada saja, sebagai berikut :
1) Dengan sengaja memasukkan suatu benda ke dalam
kerongkongan atau ke dalam anggota tubuh lainnya, seperti mulut, telinga,
hidung, kemaluan, dan dubur.
2) Tertelan air ketika berkumur atau membersihkan
hidung.
3) Muntah dengan sengaja.
4) Masturbasi.
5) Benar-benar salah perkiraan ketika sahur atau
berbuka.
6) Secara sengaja menelan dahak.
Adapun hal-hal yang membatalkan puasa yang berakibat
kepada kewajiban mengkada dan sekaligus membayar kafarat, menurut Ulama Madzhab
Syafi’i hanya satu, yaitu bersenggama dengan catatan :
1) Telah berniat puasa sebelum fajar.
2) Dilakukan dengan sengaja.
3) Dalam keadaan sadar.
4) Mengatahui bahwa hal itu haram dilakukan.
5) Senggama dilakukan pada saat setelah terbit fajar sadiq
sampai dengan terbenamnya matahari.
d. Ulama Madzhab Hanbali
Ulama Madzhab Hanbali mengemukakan beberapa hal yang
membatalkan puasa dan dibebani kewajiban kada saja, sebagai berikut :
1) Memasukkan suatu benda dengan sengaja dan sadar ke
dalam kerongkongan.
2) Muntah dengan sengaja.
3) Berbekam, jika mengeluarkan darah.
4) Berciuman, bermasturbasi, bercumbu, dan berpelukan
dibarengi syahwat, lalu keluar mani atau mazi.
5) Murtad.
6) Orang yang berpuasa wafat.
Adapun hal-hal yang membatalkan puasa yang berakibat
kepada kewajiban mengkada dan sekaligus membayar kafarat, menurut Ulama Madzhab
Hanbali hanya satu, yaitu bersenggama, baik yang disenggamai itu wanita
dikemaluannya atau duburnya, baik keluar mani ataupun tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar