Jika ditelaah secara sosiologis yang lebih mendalam, lahirnya tarekat lebih dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultur yang ada pada saat itu. Lahirnya trend pola hidup sufistik tidak lepas dari perubahan dan dinamika dalam kehidupan masyarakat. Sebagai contoh adalah munculnya gerakan kehidupan zuhud (berpaling dari sesuatu karena hinanya sesuatu tersebut dan karena seseorang tidak memerlukannya) dan uzlah (menghindar dari sesuatu) yang dipelopori oleh Hasan Al Basri (110 H) dan Ibrahim Ibn Adham (159 H). Gerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap pola hidup Hedonistik (berfoya-foya) yang dipraktekkan oleh pejabat Bani Umayyah.
Hasan Al Basri termasuk pendiri madzhab Basrah yang beraliran zuhud. Pendirian hidup dan pengalaman tasawuf Hasan Al Basri itu dijadikan pedoman bagi ahli tasawuf. Pandangan tasawuf Hasan Al Basri diantaranya pandangan dia terhadap dunia yang diibaratkan sebagai ular yang halus dalam pegangan tangan tetapi racunnya membawa maut.
Setidaknya ada 2 (dua) faktor yang menyebabkan lahirnya gerakan tarekat pada masa itu, yaitu Faktor Kultural dan Struktural. Dari segi politik, dunia Islam sedang dilanda krisis hebat. Di bagian timur dunia Islam seperti : wilayah Palestina, Syiria, dan Mesir menghadapi serangan orang-orang Kristen Eropa, yang dikenal dengan Perang Salib selama lebih kurang dua abad (490-656 H/1096-1248 M) telah terjadi delapan kali peperangan yang dahsyat.
Di bagian timur, dunia Islam menghadapi serangan Mongol yang haus darah dan kekuasaan. Ia melalap setiap wilayah jarahannya. Demikian juga di Baghdad yang merupakan pusat kekuasaan dan peradaban Islam. Situasi politik tidak menentu, karena selalu terjadi perebutan kekuasaan diantara dinasti-dinasti Turki. Keadaan ini menjadi sempurna keburukannya dengan penghancuran kota Baghdad oleh Hulaqu Khan.
Dalam situasi seperti itu, wajarlah kalau umat Islam berusaha mempertahankan agamanya dengan berpegang pada doktrin yang dapat menentramkan jiwanya dan menjalin hubungan damai dengan sesama muslim dalam kehidupan.
Umat Islam memiliki warisan kultural dari para Ulama sebelumnya yang dapat digunakan terutama di bidang tasawuf, yang merupakan aspek kultural yang ikut membidangi lahirnya tarekat-tarekat pada masa itu. Misalnya, Abu Hamid Al Ghazali (wafat 505 H/1111 M) dengan karyanya yang monumental : Ihya Ulum Al Din (menghidupkan ilmu-ilmu agama) telah memberikan pedoman tasawuf secara praktis yang kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh sufi berikutnya seperti Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al Baghdadi Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al Baghdadi Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al Baghdadi.
Mula-mula tarekat hanya berarti jalan menuju Allah SWT, yang ditempuh seorang sufi secara individual. Akan tetapi, kemudian sufi-sufi besar mengajarkan tarekatnya kepada murid baik secara individual maupun secara berkelompok. Dengan demikian, tarekat pun berarti jalan menuju Allah SWT, di bawah bimbingan guru. Selanjutnya mereka melakukan latihan bersama di bawah bimbingan guru. Inilah asal pengertian tarekat sebagai nama sebuah organisasi sufi.
Pada dasarnya munculnya banyak tarekat dalam Islam secara garis besarnya sama dengan latar belakang munculnya banyak mazhab dalam fiqih dan firqah dalam kalam. Di dalam fiqih berkembang mazhab-mazhab seperti : Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, Zahiri, dan Syi’i.
Di dalam kalam juga berkembang firqah-firqah, seperti: Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Sementara mazhab dalam tasawuf disebut tarekat. Bahkan tarekat dalam tasawuf jumlahnya jauh lebih banyak dari pada mazhab dalam fiqih maupun firqah dalam kalam.
Di Indonesia terkenal sebuah Tarekat bernama Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Tarekat ini merupakan tarekat terbesar, terutama di pulau Jawa. Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang ada di Indonesia didirikan oleh sufi dan Syeikh besar masjid Al Haram Mekkah Al Mukaramah. Beliau bernama Ahmad Khatib Sambas ibn Abd Ghaffar Al Sambasi Al Jawi. Ia wafat di Mekah pada tahun 1878 M. Beliau adalah seorang Ulama besar dari Indonesia yang tinggal sampai akhir hayatnya di Mekkah. Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, merupakan gabungan dari dua tarekat yang berbeda yaitu Tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al Baghdadi QS (W. 561 H/1166 M) dan Tarekat Naqsyabandiyah yang didirikan oleh Syeikh Bahauddin Al Naqshabandi Bukhari (717-791 H./ 1317-1389 M).
Kedua tarekat tersebut kemudian dimodifikasi oleh Syeikh Ahmad Khatib Sambas ibn Abd Ghaffar Al Sambasi Al Jawi. Sebagai seorang yang alim dan ma’rifat kepada Allah, Syeikh Ahmad Khatib Sambas ibn Abd Ghaffar Al Sambasi Al Jawi memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya karena dalam Tarekat Qadiriyah memang ada kebebasan untuk memodifikasi bagi yang telah mencapai derajat mursyid. Dalam Tarekat Qadiriyah apabila seorang murid telah mencapai derajat Syeikh seperti gurunya, ia tidak diharuskan untuk selalu mengikuti tarekat gurunya. Seorang Syeikh Tarekat Qadiriyah berhak untuk tetap mengikuti tarekat guru sebelumnya atau memodifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal ini karena ada petuah dari Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al Baghdadi bahwa murid yang telah mencapai derajat gurunya, maka ia jadi mandiri sebagai Syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.
Syeikh Ahmad Khatib Sambas ibn Abd Ghaffar Al Sambasi Al Jawi sangat berjasa dalam menyebarkan tarekat ini di Indonesia dan Melayu hingga wafat. Di Mekkah ia juga menjadi guru sebagian Ulama Indonesia modern dan mendapatkan ijazah. Sekembalinya ke Indonesia, beliau menjadi guru tarekat dan mengajarkannya sehingga tarekat ini tersebar luas di seluruh Indonesia, diantaranya Syeikh Nawawi Al Bantani (wafat 1887 M), Syeikh Halil (w. 1918 M), Syeikh Mahfuzd Attarmasi (w. 1923 M), dan Syekh M. Hasyim Asy’ari pendiri NU di Indonesia. Semuanya merupakan murid Syeikh Ahmad Khatib Sambas ibn Abd Ghaffar Al Sambasi Al Jawi. Ketokohan Syeikh Ahmad Khatib Sambas ibn Abd Ghaffar Al Sambasi Al Jawi yang menonjol adalah di bidang tasawuf. Beliau sebagai pemimpin atau mursyid tarekat Qadiriyah yang berpusat di Mekkah pada waktu itu. Di samping itu, beliau juga sebagai mursyid Tarekat Naqsyabandiyah.
Pada masanya telah ada pusat penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah di kota suci Mekkah dan Madinah sehingga sangat memungkinkan beliau mendapat baiat tarekat Naqsyabandiyah dari kemursyidan tersebut. Kemudian, beliau menggabungkan inti kedua ajaran tarekat tersebut, yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah, kemudian mengajarkan pada murid-muridnya terutama yang berasal dari Indonesia. Penamaan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah tidak lepas dari sikap tawadhu’ (rendah hati, tidak sombong) dan ta’zim Syeikh Ahmad Khatib Sambas ibn Abd Ghaffar Al Sambasi Al Jawi kepada pendiri kedua tarekat tersebut sehingga beliau tidak menisbatkan nama tarekatnya pada dirinya sendiri. Padahal, kalau melihat modifikasi ajarannya dan tata cara ritual tarekatnya itu, lebih tepat kalau dinamakan dengan Tarekat Khatibiyah atau Tarekat Sambasiyah, karena memang tarekatnya merupakan buah dari ijtihadnya.
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang terdapat di Indonesia bukanlah hanya merupakan suatu penggabungan dari dua tarekat yang berbeda yang diamalkan bersama-sama. Tarekat ini menjadi sebuah tarekat yang baru dan berdiri-sendiri, yang didalamnya unsur-unsur pilihan dari Qadiriyah dan Naqsyabandiyah telah dipadukan menjadi sesuatu yang baru. Penggabungan inti dari kedua ajaran ini atas dasar pertimbangan logis dan strategis bahwa kedua ajaran inti itu bersikap saling melengkapi terutama dalam hal jenis dzikir dan metodenya.
Tarekat Qadiriyah menekankan ajarannya pada dzikir Jahr Nafi Isbat yaitu melafadkan kalimat ”laa ilaha illallah” dengan suara keras, sedangkan Tarekat Naqsyabandiyah menekankan pada dzikir siri Ismu Dzat yaitu melafadkan kalimat ”Allah...” dalam hati.
Penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah diperkirakan sejak paruh kedua abad ke-19, yaitu semenjak tibanya kembali murid-murid Syeikh Ahmad Khatib Sambas ibn Abd Ghaffar Al Sambasi Al Jawi ke tanah air. Di Kalimantan Barat, daerah asal Syeikh Ahmad Khatib Sambas ibn Abd Ghaffar Al Sambasi Al Jawi, tarekat ini disebarkan oleh kedua orang muridnya yaitu Syeikh Nuruddin yang berasal dari Filipina dan Syeikh Muhammad Sa’ad putra asli Syeikh Ahmad Khatib Sambas ibn Abd Ghaffar Al Sambasi Al Jawi. Karena penyebaran tidak melalui lembaga formal seperti pesantren maka tarekat hanya tersebar di kalangan orang awam dan tidak mendapatkan perkembangan yang berarti.
Lain halnya di pulau Jawa tarekat ini disebarkan melalui pondok pesantren yang didirikan dan dipimpin oleh para pengikutnya sehingga mengalami kemajuan yang pesat. Penyebaran tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Jawa dilakukan oleh 3 (tiga) murid Syeikh Ahmad Khatib Sambas ibn Abd Ghaffar Al Sambasi Al Jawi, yaitu Syeikh Abdul Karim Banten, Syeikh Tholhah Cirebon, dan Kyai Ahmad Hasbullah Madura. Syeikh Abdul Karim Banten merupakan murid kesayangan Syeikh Ahmad Khatib Sambas ibn Abd Ghaffar Al Sambasi Al Jawi di Mekkah. Semula, beliau hanya sebagai khalifah Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Banten, tahun 1876 diangkat oleh Syeikh Ahmad Khatib Sambas ibn Abd Ghaffar Al Sambasi Al Jawi menjadi penggantinya dalam kedudukan sebagai mursyid utama tarekat ini yang berkedudukan di Mekkah. Dengan demikian, semenjak itu seluruh organisasi Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia menelusuri jalur spiritualnya (silsilah) kepada Ulama asal Banten tersebut.
Khalifah dari Kyai Tholhah Cirebon yang paling penting adalah Abdullah Mubarrok, belakangan dikenal sebagai ”Abah Sepuh”. Abdullah melakukan baiat ulang dengan Syeikh Abdul Karim Banten di Mekkah. Pada dekade berikutnya Abah Sepuh membaiat putranya K.H.A. Sohibul Wafa Tadjul Arifin yang lebih masyhur dengan panggilan ”Abah Anom”. Hingga sekarang Abah Anom Masih menjadi mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Di bawah kepemimpinan Abah Anom ini, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di kemursyidan Suryalaya berkembang pesat. Dengan menggunakan metode riyadah dalam tarekat ini Abah Anom mengembangkan psikoterapi alternatif, terutama bagi para remaja yang mengalami degradasi mental karena penyalahgunaan obat-obat yang terlarang, seperti : morfin, heroin dan sebagainya.
Sampai sekarang di Indonesia ada 3 (tiga) pondok pesantren yang menjadi pusat penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, yaitu :
1. Pondok Pesantren Rejoso, Jombang – Jawa Timur.
2. Pondok Pesantren Mranggen, Jawa Tengah.
3. Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya – Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar